Aku selalu percaya bila Tuhan baik. Bahkan ketika Dia terlihat tidak adil.
Tetapi bila bukan denganNya, dengan siapakah lagi kuhabiskan seluruh malam ku yang penuh gelisah ?
***
Dia menggenggam tanganku . Mengganggukan kepalanya. Antara sedang meyakinkanku atau malah sedang meyakinkan dirinya sendiri atas apapun yang akan terjadi. Sebab ini bukan kali pertamanya. Kecewa baginya mungkin sudah biasa. Aku pikir. Hanya aku tahu dia cukup terluka dengan itu.
Aku mendorong pintu kamar mandi, sekali lagi aku melihat ke arahnya. Dia kembali mengangguk. Aku harus melakukannya, bila bukan untuk diriku, setidaknya aku melakukan ini untuknya.
****
Kami berpelukan begitu lama. Tidak ada yang bicara. Aku merasa tubuhku ikut berguncang karena isaknya yang kuat. Aku menangis dengannya. Dalam pelukannya. “ sungguh telah sampaikah doaku padamu , Tuhan ?” aku pikir aku berkata dalam hati sampai akhirny kudengar dia berterima kasih kepada Tuhan dan juga kepadaku. Sejak hari itu, baginya sedikit sakitku adalah ketakutan dan kekhawatirannya. Aku paham. Dia terlampau bahagia sama seperti diriku.
Hiduplah terus, berdoalah seperti engkau bernapas
Bila disebut doa nampak begitu berlebihan
Katakan saja bila kau sedang berbincang dengan Dia yang kau panggil Tuhan
*****
Tendangan kaki kecilnya membuat tanganku selekasnya menyentuh perutku yang sudah semakin membesar. Disetiap ada kesempatan aku mengajaknya berbicara. Tak butuh jawabannya apa. Dia seorang lelaki kecilku. Lelaki yang pasti akan menjagaku nanti, yang kini sedang berbagi apapun dengannya.
Senja dengan hujan masih sesekali terjadi, hawa dingin kota sudah melegenda, aku merenda syal kecilnya, sembari membayangkan dirinya tumbuh dewasa dan aku menjadi ibu yang bahagia. Tak lupa kuselipkan doa dalam setiap untaian benang agar Tuhan selalu mencintainya seperti mencintaiku.
Hari – hari terasa sangat panjang meski sudah sering kali berganti – ganti. Bukan karena menunggu itu membosankan tetapi karena menunggu itu mendebarkan. April masih jauh. Masih sebulan lagi.
******
Ruang obgyn terasa panas, bukan karena kamarnya sempit. Kamarnya cukup untuk kami bertiga dengan tempat tidur masing – masing. Barangkali ini hanya karena kegugupan dan ketakutanku saja. Sebab ini adalah kali pertama aku opname di rumah sakit . Ketika kecil aku bercita – cita menjadi seorang perawat, hanya saja ketika melihat darah aku selalu jatuh terduduk. Sebuah cita – cita yang akhirnya kuakui bila sekedar kekagumanku saja.
Malam merangkak, aku masih menunggu untuk dipindahkan ke ruangan . Ruangan yang akan kami tempati selama tiga malam itu. Ruangannya cukup jauh dengan sedikit tanjakan yang lumayan susah ketika aku harus didorong dengan kursi roda.
Kira- kira pukul 10.00 malam, kami sampai di ruangan No 1 VIP B. Malam itu kami berempat, aku, dua lelakiku, dan adik bungsuku tidur hanya untuk menunggu pagi.
*******
Tubuhku telah siap untuk sakit, disayat serupa apapun tak mematikan segala debar semarak dan gempita di hatiku. Bagaimana tidak, delapan tahun menunggu. Bukan waktu yang sedikit. Aku berbaring di tempat tidur, didorong ke ruangan operasi yang ada di lantai dua bangunan yang berjarak berapa meter saja, dari ruangan tempat kami menghabiskan malam yang berharap pagi segara datang, menamatkan segala kerinduan dengan temu akan dia yang selama ini ditunggu semua keluarga besar kami.
Komentar