Selain itu, alasan melemahnya tingkat perdagangan menurut Bank Dunia juga disebabkan oleh negara-negara di kawasan Asia Timur yang tidak banyak yang bergabung dalam pakta perdagangan bebas. Kurangnya kontribusi kawasan [Asia Timur] dalam pakta perdagangan bebas mempengaruhi pertumbuhan produktivitas karena mengurangi tekanan untuk memperpanjang rantai penawaran. Sudhir Shetty, Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik, menilai kombinasi kebijakan yang dilakukan negara-negara di kawasan ini memang berhasil membawa pertumbuhan dalam laju cepat dan berkelanjutan.
Baca Juga: Lubang Hitam Kebudayaan Kita
Namun, melanjutkan usaha dari pencapaian tersebut terbukti menantang, mengingat cepatnya perubahan di dunia dan di kawasan [Asia Timur]. Pembuat kebijakan perlu mengadaptasikan elemen pengembangan tradisional Asia Timur menjadi lebih efektif untuk menghadapi tantangan tersebut. Bank Dunia menyimpulkan, untuk menghadapi tantangan ke depannya, setiap negara di kawasan Asia Timur harus mampu meningkatkan kompetitivitas, membangun tenaga ahli, bergerak menuju inklusivitas, dan memperkuat institusi kenegaraan.
Dalam buku “The East Asian Miracle”, yang diterbitkan World Bank pada tahun 1993, ditegaskan bahwa Indonesia adalah termasuk salah satu negara “the making of a miracle” dalam pembangunan ekonomi, dilihat dari pengembangan industri manufaktur. Sejak terbitan buku tersebut, sampai saat ini (Oktober), tidak terdengar lagi pujian yang sama dalam berbagai publikasi pada tingkat dunia, karena perangkap sebutan “the miracle” adalah kinerja industri manufaktur non-migas yang kurang menggembirakan.
Dalam sepuluh tahun terakhir, kinerja industri manufaktur non-migas tidak mengalami peningkatan peran terhadap PDB (produk domestik bruto), dilihat dari nilai tambah yang diciptaan industri manufaktur non-migas tersebut.
Negara yang disebut “miracle” dalam pembangunan ekonomi bila tidak mampu negara tersebut membangun industri manufaktur, khususnya non-migas, sebagai tumpuan sumber pertumbuhan ekonomi utama, penyerapan tenaga kerja, dan juga pemberi sumbangan terhadap ekspor.
Industri merupakan salah satu pelumas penggerak perekonomian sebuah negara, termasuk Indonesia. Perkembangan industri mempengaruhi nilai tambah pendapatan negara, perluasan lapangan kerja, penggerak investasi dan pendorong ekspor. Kementerian Perindustrian mencatat terdapat tujuh sektor unggulan manufaktur di tahun depan. Yakni logam dasar, makanan-minuman, alat angkutan, mesin dan perlengkapan, kimia, farmasi, serta elektronik.
Bukan tanpa alasan, sektor manufaktur menjadi andalan bisa menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Merujuk data BPS, sektor ini masih mencatatkan pertumbuhan yang lumayan tinggi. Misalnya, pertumbuhan industri logam dasar yang sebesar 10,6%, makanan dan minuman 9,49%, mesin dan perlengkapan 6,35%.
Atas dasar itu, ke depan, pemerintah bakal fokus menggenjot industri manufaktur tertutama sektor otomotif, elektronik, dan makanan minuman karena akan menjadi produk yang banyak dikembangkan di Asean.
Baca Juga: Mengembangkan Sistem Pembelajaran HOTS
Kemenperin menargetkan jumlah investasi yang masuk ke Indonesia bisa mencapai Rp 400 triliun-Rp 500 triliun di tahun depan. Jumlah tersebut hampir melonjak dua kali lipat dibandingkan target tahun ini. Sumbangan terbesar dari investasi yang masuk berasal dari sektor manufaktur. Setali tiga uang, pergerakan ekonomi digital yang semakin positif.
Beberapa platform digital bakal melambung tinggi popularitasnya. Seperti healthtech mungkin mulai populer, sedangkan tekfin tetap menjadi primadona. Cuma, infrastruktur data telekomunikasi sebagai penopang industri digital dihadapkan tantangan ketidakpastian aturan main. Deregulasi ketentuan penyelenggaraan jasa telekomunikasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika menuai pro dan kontra, terutama mengenai kewajiban berbagi jaringan. Berbagai jaringan dapat memicu iklim persaingan usaha tidak sehat dan bisa menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku usaha telekomunikasi.