Bung Victor sudah pasti menghafal angka-angka makro berikut yang saya peroleh dari Badan Pusat Statistik NTT. Indeks Pembangunan Manusia NTT hanya berada pada angka 63.73, menempati urutan ketiga dari bawah, di atas Papua dan Papua Barat. Jauh di bawah rata-rata nasional (70.81), yang sebetulnya juga rendah. Sementara itu Angka Partisipasi Sekolah (APS) untuk umur 16-18 tahun hanya sebesar 74.65, Angka Partisipasi Kasar (APK) tingkat SMA sebesar 78.83 dan Angka Partisipasi Murni (APM) tingkat SMA hanya 53.32! Selain itu, nilai rata-rata uji kompetensi guru (UKG) 2018 untuk NTT adalah 50.34 (rata-rata nasional 56,69). Perlu diingat, hanya sebagaian kecil guru yang mengikuti uji kompetensi ini, dan karena itu angka tersebut sangat mungkin tidak representatif.
Bung Viktor mungkin bertanya mengapa cuma secuil data yang disampaikan. Jawaban saya, ini hanya contoh kondisi yang perlu mendapat perhatian lebih. Ini bagian terburuk dari potret buram pendidikan kita.
Maka saya agak terkejut sebetulnya ketika Bung melemparkan wacana English Day setiap hari Rabu. As an English teacher, I am 100% behind your back, Mr Governor. Program itu sejatinya sebuah terobosan cerdas hanya jika seluruh prasayarat dasarnya terpenuhi. Dan persis itulah masalah yang kemudian menimbulkan sejenis sinisme publik yang terlihat di media sosial.
Betapa tidak. Masyarakat NTT, atau lebih khususnya anak-anak NTT usia sekolah (dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi) yang menjadi sasaran program ini, tidaklah sama dengan anak-anak penghuni kawasan elite Jakarta dan kota-kota besar lainnya yang memiliki kemudahan dan akses ke berbagai sumber daya yang memungkinkan mereka fasih berbahasa Inggris.
Kecerdasan linguistik, khususnya bahasa Inggris, anak-anak NTT dibatalkan sejak awal lantaran tidak punya akses ke berbagai sumber daya yang dibutuhkan. Ini berkaitan langsung dengan gagalnya pembangunan manusia. Maka dari itu, Bung Victor dan pemerintah di setiap kabupaten pertama-tama harus berusaha keras menghadirkan iklim, fasilitas dan sumber daya manusia (guru) yang potensial untuk mengembangkan bahasa Inggris. Seandainya prasyarat dasar itu tak pernah dipenuhi, gagasan English Day itu rupa-rupanya tidak lebih dari fantasi. Pemerhati akal (tidak) sehat Rocky Gerung mungkin akan menganggap ini program fiktif.
Bung Victor, ingin sekali saya memperpanjang curahan hati ini. Masih banyak harapan yang hendak saya sampaikan, namun saya tidak mau menyita waktu Bung lebih lama lagi. Mungkin ada tumpukan dokumen dan disposisi menunggu coretan tangan Bung Viktor di meja kerja. Juga rakyat yang memikul masalah menunggu ditemui di depan pintu.
Kendati demikian, izinkanlah saya menyampaikan dua pesan penutup. Pertama, Bung Victor harus membangun kolaborasi dan sinergi lintas sektoral, utamanya dengan para bupati, wali kota dan birokrat cerdas dan progresif dari berbagai instansi dalam merumuskan masalah dan mencari solusi untuk NTT yang lebih sejahtera. Jangan sampai preseden buruk sebelumnya kembali terjadi saat program propinsi dan kabupaten tidak sejalan, bahkan sering tumbang-tindih. Saya berkawan baik dengan banyak birokrat muda potensial di NTT dan mengetahui dengan baik kualitas yang mereka miliki. Sayangnya, mereka sering terlupakan pasca pesta demokrasi 5 tahunan karena pinsip winner takes all.
Kedua, hanya ingin mengulang quotation dari Paulo Freire yang disampaikan di awal coretan ini, kata-kata tanpa perbuatan adalah kata-kata kosong. Kata harus melekat pada praksis. Gagasan-gagasan besar Bung Viktor harus menjadi semacam driving force yang bisa mentransformasi kehidupan rakyat NTT.
Akhirnya, saya berharap semoga Bung Viktor senantiasa sehat, semangat dan setia memikul salib besar untuk kesejahteraan NTT. Di akhir perjalanan itu, saya sangat yakin kita akan merayakan “paskah” lantaran NTT sungguh-sungguh lebe bae. Ketika saat itu tiba, saya akan ikut mereguk “Sophia” yang sudah dilegalkan.
Komentar