Tetapi, saya banyak mendengar Bung Viktor mengatakan kemiskinan kita terutama karena kemalasan. Mungkin itu sebabnya mengapa Bung mengutuk orang miskin sebagai penghuni neraka kelak, dan sebaliknya sangat simpatik dengan mereka yang waktu tidurnya lebih pendek.
Siapa yang malas sebetulnya? Jika ditempatkan dalam bingkai teoritis, kita berada pada posisi diametral dalam perdebatan klasik tentang kemiskinan antara kaum kanan dan kaum kiri. Menurut observasi Bung yang malas adalah rakyat NTT, namun hemat saya yang malas adalah tubuh birokrasi yang nyaman beroperasi dalam sistem kekuasaan yang bercorak feodalistik-paternalistik.. Bung Victor melihat kemiskinan sebagai akibat dari tabiat rakyat yang malas, sementara saya membaca kemiskinan sebagai akibat dari watak dan sistem kekuasaan politik dan birokrasi yang koruptif. Bung Victor melihat kemiskinan sebagai fenomena individual yaitu akumulasi dari sikap dan mental individual yang enggan keluar dari kemiskinan (individual failing), sebaliknya saya memandang kemiskinan lebih sebagai masalah kegagalan struktur politik dan birokrasi (structural failings) (Baca Rank, Yoon, Hirschl. 2003. American Poverty as a Structural Failing: Evidence and Arguments, The Journal of Sociology and Social Welfare, 30). Meski saya juga yakin, sebab kemiskinan NTT tak selalu tunggal, bisa jadi karena kombinasi aneh dari kultur dan struktur.
Kita membutuhkan studi yang komprehensif soal ini. Karena itu, Bung Victor perlu memberi tempat kepada putra-putri terbaik NTT yang menyebar di pelbagai lapangan kehidupan, kampus, dan birokrasi untuk mencari tahu sebabnya. Hal ini penting terutama supaya kemiskinan dan keterbelakangan tidak diteropong dari kursi kekuasaan, yang tentu saja membenarkan cara pandang kekuasaan itu sendiri. Karena mengatakan kemalasan sebagai sumber kemiskinan berarti menafikan kekuasaan dan birokrasi yang disfungsional.
Seperti disampaikan sebelumnya bahwa begitu banyak gagasan Bung Victor yang sudah dilepaskan ke publik dalam upaya membuat NTT menjadi lebe bae. Saya percaya bahwa semua gagasan itu telah diproses di “dapur” gubernur melalui “kepala” para koki berkelas dan melibatkan semua pemerintah kabupaten se-NTT. Dengan kata lain, lontaran-lontaran pernyataan Bung Viktor yang bagi sebagaian orang kontroversial, semestinya berbasis pada semacam blue print pembangunan NTT sebagai kompas yang memandu Bung Victor dan setiap pemkab selama 5 tahun ke depan.
Jika blue print itu ada, elok kiranya jika dibagi ke khalayak ramai NTT supaya dijadikan point of reference, sejenis intisari narasi pembangunan yang akan kita diskusikan, perdebatkan dan kembangkan bersama. Tentu saja ini menjadi mungkin jika Bung Victor mengembangkan model kepemimpinan yang partisipatif dan deliberatif. Bahwa semua elemen masyarakat diajak terlibat dan bekerja sama untuk kemajuan NTT. Lebih dari itu, langkah ini mengubah bandul pembangunan yang selalu power-centered ke model pembangunan sebagai gerakan politik yang membebaskan, political movement.
Sebagai misal, sudahkan keputusan suspensi atau penghentian sementara masuknya wisatawan ke Taman Nasional Komodo (TNK) melibatkan semua stakeholders di bidang pariwisata, terutama mereka yang asap dapurnya sangat bergantung pada pariwisata TNK? Sebab ini bukan hanya soal “revitalisasi” TNK, namun juga soal hidup dan penghidupan para pelaku pariwisata.
Pertanyaan di atas bisa jadi sangat remeh-temeh, terlampau sederhana. Tapi poin penting yang hendak disampaikan bahwa sudah bukan zamannya lagi masyarakat dieksklusi dari proses pembangunan. Kiranya di bawah kendali Bung Victor, pemerintah dan birokrasi NTT tidak perlu lagi memosisikan diri sebagai episentrum pembangunan, atau lebih parah lagi menganggap diri sebagai sinterklas yang akan membagi-bagi program kepada rakyat. Sementara, di sisi lain, rakyat selalu diletakan pada posisi objek dan sasaran pembangunan. Ini frame paten neoliberalisme yang perlu kita bongkar bersama. Maaf, saya tiba-tiba teringat “Anggur Merah” dari masa sebelumnya yang banyak tumpah dalam perjalanan. Semoga program-program sejenis tidak akan terulang lagi.
Prioritaskan Pendidikan
Jika saya boleh mengusulkan, tempatkanlah peningkatan kualitas pendidikan pada urutan teratas dari signature program atau program unggulan dalam blueprint yang ada. Bangsa yang maju selalu menempatkan pendidikan sebagai prioritas pertama. Proposal ini saya sampaikan mengacu pada indeks pembangunan manusia (IPM) dan potret pendidikan NTT. Data menunjukkan bidang pendidikan di provinsi kita sedemikian memprihatinkan.
Komentar