Tidak ada kewajiban bagi bupati untuk mensosialisasikan ke masyarakat setiap SK TUN yang ia terbitkan. Tetapi kalau ada masyarakat yang merasa dirugikan oleh penerbitan sebuah SK TUN yang ditandatangani oleh bupati maka masyarakat yang merasa dirugikan itu mempunyai hak untuk menggugat pembatalan SK tersebut di PTUN.
Justru bupati salah jika ia sosialisasikan SK Penlok agar masyarakat melepaskan hak atas tanah mereka dan menerima uang ganti untung dari PT PLN. Itu bukan urusan bupati.
Sebab, masyarakat punya hak untuk menolak melepaskan hak atas tanah mereka ke PT PLN dan sekaligus berhak menolak uang ganti untung yang ditawarkan oleh PT PLN.
Bupati tidak boleh ikut campur tangan dalam urusan negosiasi ganti untung itu. Jika masyarakat menolak ganti untung dan menolak melepaskan hak atas tanah mereka, maka SK Penlok gugur dengan sendirinya.
Gugurnya atau tidak berlakunya SK Penlok itu bukan urusan bupati. Tetapi urusan masyarakat pemilik tanah dan PT PLN.
Tidak ada orang di luar diri warga masyarakat pemilik lahan yang merasa berhak melarang masyarakat melepaskan hak atas tanah mereka kepada PT PLN. Bupati sekalipun tidak berwenang.
Kenyataannya bahwa mayoritas masyarakat pemilik lahan dalam area perluasan lokasi geothermal sudah menerima uang ganti untung dari PT PLN. Itu berarti masalahnya sudah selesai.
Kalaupun hanya 1-5 orang yang belum menerima atau menolak uang ganti untung dari PT PLN, maka PT PLN mempunyai kewajiban untuk melakukan konsinyasi uang ganti untung yang belum diambil oleh masyarakat tersebut ke Pengadilan Negeri Ruteng.
Masyarakat yang 1-5 orang itu bisa mengambilnya di PN Ruteng kapan saja. Jika tindakan konsinyasi yang dilakukan oleh PT PLN itu dianggap melanggar hukum, tinggal tunjukkan dasar hukumnya dan gugat PT PLN ke pengadilan.