Pada saat proses pemboran, jelas dia, dampaknya hanya terjadi pada kerusakan seng atap rumah “tetapi pihak PLN ganti semua. Kami tidak ada masalah”.
Ketika ditanya terkait apakah setelah dilakukan proses pemboran, mempengaruhi terhadap hasil pertanian?, Erna menjelaskan lahan pada lokasi pemboran tersebut sejak dulu tidak terlalu subur.
“Tanah saya itu dari dulu memang tidak terlalu subur. Bukan karena bor sumur PLN,” ungkap Erna.
Sementara, Yohanes Wegu, pemilik lahan untuk pengembangan PLTP Mataloko, menyebutkan proses pengadaan lahan oleh pihak PLN saat ini jauh lebih baik dari sebelumnya. Pasalnya karena melibatkan kaum intelektual serta melibatkan tokoh masyarakat dalam proses pengadaan lahan.
Selain itu jelas Yohanes, pihak PLN juga sangat memahami terkait kearifan lokal dalam proses pengadaan lahan pengembangan PLTP Mataloko.
“Pengadaan lahan pengembangan PLTP Mataloko sangat transparan, karena melibatkan banyak orang, mulai dari kaum intelek maupun tokoh masyarakat,” ungkap Yohanes.
Yohanes juga mengaku, saat dirinya menjabat Kades, ia dengan sejumlah kades pernah melakukan studi banding terkait PLTP.
Proses awal pembangunan PLTP Mataloko pada tahun 2000, jelas Yohanes masyarakat yang memiliki lahan sekitar lokasi pemboran sempat khawatir, “setelah melewati semua proses aman-aman saja, sampai sekarang”.
“Paling yang dampak itu seng atap rumah, ya memang dari dulu juga begitu. Tetapi pihak PLN juga bertanggungjawab atas kerusakan,” jelas Yohanes.
Sebagai informasi, saat ini proses pembangunan PLTP Mataloko telah mengantongi Izin Prinsip, Izin Kesesuaian Tata Ruang (RTRW), UKL – UPL Eksplorasi dan Izin Lingkungan Efektif dari pemerintah daerah setempat. Rencananya, lapangan pengembangan ini akan terdiri dari 6 area yakni Wellpad Area sejumlah 4 titik, Laydown Area, dan Access Road.