oleh

Problematika Pekerja Migran NTT

Pekerja migran internasional (luar negeri) adalah mereka yang meninggalkan tanah airnya untuk mengisi pekerjaan di negara lain. Di Indonesia, pengertian ini menunjuk pada orang Indonesia yang bekerja di luar negeri atau yang dikenal dengan istilah Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

Globalisasi ternyata juga mendorong perpindahan tenaga kerja antar negara. Dewasa ini, penduduk dunia bergerak meninggalkan tanah airnya menuju negara lain yang menawarkan pekerjaan dengan upah lebih tinggi. Di wilayah Asia saja pada tahun 2017, tenaga kerja asing (sesama Asia) yang mengisi sektor-sektor ekonomi di wilayah tersebut mencapai jutaan.

Menurut Elwin Tobing (2003), arus migrasi tenaga kerja ini diperkirakan akan terus meningkat setiap tahunnya sejalan dengan melonggarnya hambatan-hambatan resmi migrasi di negara-negara yang tergabung dalam World Trade Organisation (WTO). Melonjaknya arus migrasi ini pada hakekatnya merupakan resultante dari perbedaan tingkat kemakmuran antara negara maju dan berkembang.

Pembangunan ekonomi yang tinggi di negara maju telah mendorong upah dan kondisi lingkungan kerja ke taraf yang lebih tinggi. Percepatan pembangunan ekonomi di negara maju kemudian meningkatkan kebutuhan akan tenaga kerja dalam jumlah tertentu. Secara umum, permintaan akan tenaga kerja terlatih di negara maju dipenuhi dari negara maju lainnya. Sedangkan permintaan akan tenaga kerja tidak terlatih “terpaksa” didatangkan dari negara berkembang. Pekerja dari negara-negara maju sendiri seringkali tidak tertarik dengan pekerjaan yang menurut kategori mereka bergaji rendah.

Menurut hasil penelitian Edward Marshall White, dengan judul: The Problems of Migrant Worker and the Death Labor of Indonesian Origin East Nusa Tenggara Part One (2017), mengatakan “The majority of migrant workers from East Nusa Tenggara are economic difficulties, narrow employment and low wages, encouraging people to try their luck to developed countries despite lack of expertise, preparation, adequate documents. Most migrant workers from East Nusa Tenggara are generally driven by wages that are relatively higher than the wages received in the area of ​​origin. However, some of the migrant workers are motivated by other reasons, due to parents’ encouragement”.(terjemahan bebas penulis: Sebagian besar pekerja migran asal Nusa Tenggara Timur ialah kesulitan ekonomi, sempitnya lapangan pekerjaan dan upah rendah, mendorong orang untuk mengadu nasib ke negara maju meskipun tanpa bekal keahlian, persiapan, dokumen yang memadai.

Sebagian besar pekerja migran dari Nusa Tenggara Timur umumnya terdorong oleh upah yang relatif lebih tinggi dibanding upah yang diterima di daerah asal. Namun, sebagian dari pekerja migran ada yang termotivasi oleh alasan lain, karena dorongan orangtua”. (catatan: White, hanya memberikan kepada saya beberapa lembar hasil penelitiannya. Tulisan ini saya kutip dari penelitiannya atas izin White)

Faktor pendorong dan penarik di atas sebenarnya merupakan hukum ekonomi yang wajar jika prosesnya dilalui berdasarkan kriteria yang dibutuhkan. Persoalan menjadi lain manakala tenaga kerja dari negara pengirim bermigrasi secara ilegal dan/atau tanpa keahlian serta persiapan yang diperlukan. Dalam konteks ini, munculah dua macam migrasi, yaitu yang legal (resmi) dan yang ilegal (gelap). Status gelap inilah yang kemudian menyebabkan pekerja migran sangat rentan mengalami permasalahan sosial-psikologis.

Menurut White, dalam arus migrasi dari Nusa Tenggara Timur ini, terdapat fenomena lain yang disebut “ migration feminism,” yakni, bahwa “migration is increasingly dominated by girls and women. The collapse of the local economic system caused many girls and women to be exposed to global workplaces to make a living” (terjemahan bebas penulis: migrasi semakin didominasi oleh anak gadis dan perempuan. Ambruknya sistem ekonomi lokal menyebabkan banyak anak-anak gadis  dan perempuan yang diekspos ke tempat-tempat kerja global guna mencari penghidupan).

Menurut White, “This situation will intensify in East Nusa Tenggara, which has experienced an economic crisis, especially in East Flores, parts of Timor Island, as Sumba as well as areas that experience domestic conflict and disunity in families. In the context of NTT, this migration feminism occurs in the form of sending large-scale migrant workers to Hong Kong, Saudi Arabia, Malaysia and Singapore” (terjemahan bebas penulis: situasi ini akan semakin menjadi-jadi di Nusa Tenggara Timur yang mengalami krisis ekonomi terutama di Flores Timur, sebagian pulau Timor, sebagai Sumba serta daerah-daerah yang mengalami konflik dalam rumah tangga dan perpecahan dalam keluarga. Dalam konteks NTT, feminisme migrasi ini terjadi dalam bentuk pengiriman TKW besar-besaran antara lain ke Hongkong, Arab Saudi, Malaysia dan Singapura). .

Ada bab yang paling menarik dari hasil penelitian White, di Bab  di bawah judul: Box Off Migrant Workers East Nusa Tenggara (Peti Mati Pekerja Migran Nusa Tenggara Timur), mengatakan begini:

“Most Melanesian races, including East Nusa Tenggara, Alor, Solor, Pantar and Flores have strong body structures. Although the body of this race is classified as small and short but they can walk far with high speeds can reach 80km per day. They can go up and down the mountain by not wearing footwear even though the weather is hot. Their organs include strong and agile. They are close to nature. They concentrate on what is produced by nature. The Lama Holot tribe and the surrounding islands consume a lot of fish”.(terjemahan bebas penulis: Sebagian besar ras Melanesia termasuk, Nusa Tenggara Timur, Alor, Solor, Pantar dan dan Flores mempunyai struktur tubuh yang kuat. Walaupun badan ras ini tergolong kecil dan pendek namun mereka bisa berjalan jauh dengan kecepatan tinggi bisa mencapai 80km per hari. Mereka bisa naik turun gunung dengan tidak memakai alas kaki walau pun cuaca panas. Organ-organ tubuh mereka termasuk kuat dan lincah. Mereka dekat dengan alam. Mereka berkonsum apa yang dihasilkan oleh alam. Suku Lama Holot dan pulau sekitarnya mengkonsum ikan sangat banyak.

Komentar