oleh

Problematika Pekerja Migran NTT

Oleh Ben Senang Galus

Banyak stigma buruk yang melekat pada masyarakat NTT diantaranya kemiskinan, busung lapar, kekeringan, kesehatan buruk dan mutu pendidikan yang rendah, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, kurangnya akses air bersih, tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan dan semakin menjauh dari gereja.

Stigma tersebut saling berkaitan. Semuanya merupakan bagian persoalan kecil dari persoalan NTT yang besar yakni menguatnya arus urbanisasi, TKI, kekerasan dalam rumah tangga. Urbanisasi, TKI ke luar negeri semuanya untuk menjawab persoalan kemiskinan yang sering melanda masyarakat NTT.

Kemiskinan yang melekat pada masyarakat NTT, bahkan membuat ribuan orang rela mengorbankan apa saja demi mempertahankan keselamatan hidup (lihat James C. Scott, 1981), menyebabkan menguatnya arus urbanisasi ke kota, ribuan orang menjadi tenaga kerja di luar negeri terutama ke Malaysia.

Masalah TKI, bukan persoalan tunggal yang ada pada keluarga TKI, melainkan pemerintah daerah (provinsi maupun kabupaten/kota) sudah keluar dari misi sejatinya yakni tidak memberi perlindungan dan jaminan kepastian hidup terhadap warganya dan lebih berpihak pada mengutamakan kepentingan dirinya sendiri yakni bagaimana tetap eksis dalam sosial politik dan ekonomi. Pemerintah daerah termasuk gereja dalam penziarahannya belum mampu mengatasi persoalan sosial yang dihadapi oleh orang NTT, sehingga tidak heran orang kristiani yang miskin pun mudah dijumpai di NTT

Kemiskinan di NTT dapat didekati melalui berbagai pendekatan.
Pertama adalah pendekatan struktural. Pendekatan ini menilai bahwa rendahnya askses masyarakat terhadap kebijakan publik lebih banyak terjadi karena adanya “diskriminasi” pelayanan birokrasi. Pemda lebih berpihak kepada pemodal. Kemunculan kelas kaya di NTT, lebih banyak dibentuk oleh hubungan yang terjalin erat antar kapitalis lokal dengan penguasa. Pendekatan struktural juga menilai bahwa penyebab stigma tadi adalah birokrasi yang lebih banyak bekerja untuk memperoleh keuntungan sendiri dengan membudayakan sikap hidup priyayi.

Kedua adalah pendekatan kultural. Pendekatan kultural menilai bahwa faktor penyebab kemiskinan di NTT adalah budaya masyarakat NTT yang cendrung malas, menjunjung tinggi sikap hidup boros dan foya-foya. Sikap malas dan boros ini nampak dalam berbagai bentuk seperti adanya masyarakat yang lebih suka bermain judi, berpesta dibandingkan dengan kerja di kebun, dan adanya budaya belis dalam perkawinan, dan gereja juga tidak pernah melakukan inisiasi.

Ketiga, adalah pendekatan program dan kebijakan Pemda. Diakui bahwa sejak berdirinya Provinsi NTT 1958 sampai saat ini program pemda belum menyentuh masyarakat basis. Kecendrungan program yang mucul adalah bersifat ke dalam dan elitis. Sehingga program itu banyak menilai berhasil ke dalam tapi gagal ke luar. Sebut saja di antaranya adalah program pembangunan fisik (infrastruktur) lebih diutamakan dari pada pembangnan sosial dan ekonomi. Pemda lebih banyak menuntut kepada rakyat untuk berpartisipasi dalam pembanguan demi alasan ”keluarga mandiri”, namun yang terjadi justeru pemda tidak memperhatikan kualitas hidup rakyat. Lalu kita bertanya di mana tanggungjawab pemda? Semua program-program tersebut, di samping salah sasaran, juga tidak berhasil karena banyak uangnya yang disunat oleh aparat birokrasi, keterlibatan rakyat yang terbatas dalam memonitor dan target rakyat sasarannya tidak jelas.

Keempat, pendekatan tata kelola pemda (Manajemen Pemda). Ada rakyat menilai bahwa rendahnya kualitas hidup rakyat NTT lebih banyak disebabkan oleh tata kelola pemda yang buruk. Buruknya tata kelola pemda NTT, dapat dilihat dari partisipasi rakyat yang rendah dalam pembangunan, respons pemda yang kurang terhadap kemiskinan, akuntabilitas program kemiskinan yang tidak berjalan, transparansi anggaran pemda yang tidak ada, sampai dengan imunitas atau kebalnya birokrasi pemda yang terlibat dalam ”penyalagunaan” anggaran pemda.

Kelima, kemiskinan di NTT juga dapat didekati dari teologi kemiskinan. Pendekatan ini menilai bahwa penyebab utama kemsikinan di NTT adalah gereja yang terlalu bersikap tertutup terhadap realitas kemiskinan. Tidak adanya teologi kemiskinan yang diajarkan di Seminari Tinggi yang berbasis umat, menyebabkan banyak pelaku sosial di kalangan gereja yang bertindak tidak pro terhadap orang miskin di NTT dan bahkan mereka cendrung melegalkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang merepresi orang NTT yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Keenam, fenomena kemiskinan di NTT dapat juga didekati melalui sosiologi masyarakat. Pendekatan sosiologis menilai bahwa pola interaksi antar masyarakat di NTT, cendrung bersifat komunal. Interaksi yang bersifat komunal ini cendrung menyuburkan semangat ”kemiskinan” sebagai milik bersama masyarakat. Karenanya, kemunculan orang kaya dalam masyarakat, dipandang sebagai ancaman bagi komunitas masyarakat NTT itu sendiri.

Tentu saja, banyak sekali pendekatan yang bisa digunakan untuk menjelaskan realitas kehidupan rakyat NTT. Tetapi kata kunci yang hendak diangkat dalam tulisan ini adalah pekerja migran (TKI). .
Pekerja Migran
Per definisi, pekerja migran adalah orang yang bermigrasi dari wilayah kelahirannya ke tempat lain dan kemudian bekerja di tempat yang baru tersebut dalam jangka waktu relatif menetap. Pekerja migran mencakup sedikitnya dua tipe: pekerja migran internal dan pekerja migran internasional ( Edi Suharto, 2007).

Komentar