oleh

Menyongsong Pilkada Kabupaten Manggarai 2020 : Memperkuat Demokrasi Deliberatif

Memperkuat Demokrasi Deliberatif
Sejatinya politik adalah memuliakan  manusia. Demikian pula politik sebagai cara untuk membangun peradaban suatu bangsa menjadi lebih beradab. Partai politik merupakan salah satu instrumen dalam mewujudkan demokrasi, dan memiliki peran strategis dalam mewujudkan demokrasi melalui fungsi-fungsi partai politik. Di Indonesia fungsi-fungsi partai politik belum dilakukan secara baik dan bertanggungjawab oleh partai politik. Partai politik lebih berkonsentrasi pada bagaimana merebut kekuasaan dengan cara-cara yang anti terhadap demokrasi yang melanggengkan politik dinasti, politik kekerabatan, dan politik uang (politik oligarki).

Suka atau tidak suka, para pengusa saat di tingkat Daerah Kabupaten maupun Propinsi dengan terang-terangan sudah dan mulai melakukan praktik politik oligarki dalam proses perjalanan demokrasi untuk jabatan berikutnya. Para kaum oligarki (pengusaha) sudah jauh-jauh hari direkrut oleh penguasa untuk semakin mendekatkan diri. Para kaum oligraki sudah dijamin kehidupannya dengan memberikan berbagai fasilitas proyek.

Jika kemungkinan ini dianggap sebagai kebenaran, penyakit akut KKN sulit diobati dalam waktu yang singkat, apalagi peran partai politik yang tetap memelihara praktik oligarki. Pasca reformasi, rekruitmen politik yang dilakukan oleh partai politik didominasi oleh pemilik modal, kerabat dan keluarga dekat elit partai politik yang semakin memberi ruang eksisnya politik oligarkis dalam sistem demokrasi.

Sebagai akibat langsung dari politk oligarki, tak jarang rakyat dipertontonkan dengan sajian informasi korupsi, suap dan gratifikasi yang dilakukan oleh elit partai politik. Politik oligarki bukan saja terjadi pada level nasional, daerah tetapi juga terdistribusi ke desa-desa, sehingga kesejahteraan rakyat yang menjadi tujuan sulit untuk dicapai.

Rekruitmen politik berbasis modal finansial dan kekerabatan  mengakibatkan orang-orang potensial yang memiliki kompetensi dan integritas mumpuni dalam mewujudkan demokrasi sejati tidak dilirik oleh partai politik.

Demokrasi kita yang dikendalikan oligarki itu berskandal. Mengapa?

Pertama, alih-alih mengokohkan solidaritas, demokrasi kita membiarkan ekspansi pasar yang justru merusak solidaritas.

Kedua, alih-alih melindungi pluralitas, demokrasi kita malah membiarkan pertumbuhan kekuatan-kekuatan ekstrem religius yang mengancam pluralitas.

Ketiga, alih-alih menyediakan kesetaraan kondisi-kondisi, demokrasi kita justru menghasilkan kondisi-kondisi ketidaksetaraan.

Bahwa skandal-skandal demokrasi kita tidak dapat diatasi dengan menghentikan demokratisasi, melainkan dengan memperdalamnya dan memperkuat demokrasi deliberatif untuk menghasilkan hukum-hukum legitim yang memperluas kesetaraan dan akhirnya juga dapat membatasi pertumbuhan oligarki.

Demokrasi deliberatif menjanjikan harapan akan kebebasan politik, kesetaraan dan persaudaraan dalam ikatan solidaritas penuh empati atas penderitaan sesama warga negara, sebagai instrumentasi demokrasi yang memiliki kekuatan soliditas dan bermetamorfosis menjadi kekuatan politik.

Praktik oligarki politik, sebagaimana lazim di banyak tempat, lebih berorientasi pada akumulasi dan perluasaan kekayaan dan meningkatnya pengaruh ikatan keluarga atau politik dinasti di dalam mengendalikan kebijakan pemerintahan. Konteks politik Indonesia mutakhir, semakin terasakan, betapa demokrasi berada dalam cengkeraman oligarki politik, baik itu yang direpresentasikan oleh kekuatan aktor politik lama produk Orde Baru ataupun produk politik Orde Reformasi. Langgam dan pengaruh oligarki ini tidak hanya di pusaran politik nasional, juga pusaran politik lokal.

Cengkeraman oligarki politik ini memang sangat mengkhawatirkan, namun demikian berbagai kekuatan perlawanan masyarakat sipil masih memberi harapan, bahwa demokrasi deliberatif tidak mudah dibajak dan dikendalikan oleh para oligarch.

Demokrasi delibaratif, sebuah demokrasi yang menggantikan atau lebih tepatnya memusnahkan demokrsi konvensional seperti demokrasi elektoral atau demokrasi fosil (demokrasi oligarki). Demokrasi deliberatif dengan pengarusutamaan dengan beberapa ciri antara lain:

Pertama, menekankan pentingnya prosedur komunikasi untuk meraih legimitas hukum di dalam sebuah proses pertukaran yang dinamis antara sistem politik dan ruang publik yang dimobilisasi secara kultural.
Sehingga ada konsensus atau kesepakatan bersama. Konsensus itu adalah menimbang-nimbang calon kita. Misalnya Jerubu akan diorbitkan menjadi bupati di daerah X maka hal yang paling penting adalah ” the good three produce(s) good fruith” hukum alam deliberatif.

Kedua, adalah menghubungkan antara fungsi hukum sebagai medium integrasi sosial dengan sebuah teori sosiologis yang menghasilkan tindakan komunikatif atau disebut Lebenswelt (dunia- kehidupan) dan diskursus praktis. Diskursus adalah bentuk komunikasi yang reflektif yang mentematisasi sebuah problem tertentu. Dengan demikian, ada dua bentuk komunikasi, yaitu komunikasi sehari-hari dan diskursus.

Secara umum ada beragam tipe diskursus yaitu diskursus teoretis, diskursus praktis, dan diskursus kritis. Diskursus teoretis adalah percakapan argumentatif menyangkut persoalan-persoalan yang faktual. Sedangkan diskursus praktis, tema yang menjadi problem adalah norma. Pada diskursus kritis tidak perlu mengupayakan adanya konsensus.

Ketiga, mungkin bisa menjadi suatu proses deliberatio itu bisa berjalan dalam konteksi demokrasi sesungguhnya tidak memusatkan diri pada penyusunan daftar aturan-aturan tertentu yang menunjukan apa yang harus dilakukan oleh warga negara, melainkan pada prosedur untuk menghasilkan aturan-aturan itu.

Sehingga dalam demokrasi delibaratif itu meminati persoalan kesahihan keputusan-keputusan kolektif. Kontrol demokratis melalui opini publik yang memiliki suatu bentuk  logis dan koheren yang dianggap sahih secara universal dan rasional. Sehingga dapat dikatakan demokrasi deliberatif mengacu pada presedur  formasi opini dan aspirasi secara demokratis masyarakat Manggarai, (bandingkan F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, 2016).

Dalam demokrasi deliberatif bukanlah jumlah kehendak-kehendak individual dan juga bukan sebuah kehendak ‘umum’ yang merupakan sumber legitimitas, melainkan sumber legitimasi itu adalah proses formasi warga, argumentatif-diskursif suatu keputusan politis yang ditimbang bersama-sama yang senantiasa bersifat sementara dan terbuka revisi.

Prinsip dalam demokrasi deliberatif  tercerminkan dalam membangun kompetensi yang komunikatif. Beberapa hal yang bisa dilakukan adalah membiarkan mereka untuk menghargai pendapat sendiri. Perbedaan dalam berpendapat adalah suatu hal kewajaran dan itu harus diberikan ruang tersendiri. Dengan banyaknya beragam perbedaan pendapat, maka akan membuka banyak perspektif dari berbagai sudut pandang yang berbeda.

Gagasan demokrasi deliberatif dalam pilkada Kabupaten Manggarai 2020 ini bermula dari kegelisahan “tak berdayanya hukum publik,  tak bekerjaanya respublika dan rechtstaat. Pilar-pilar arsitektur respublika  ini tak lagi berfungsi ketika ia dikuasai  oleh kekuatan  tak tampak yaitu kekuasaan rahasia (secret power) yang menguasai aspek  kehidupan  berbangsa dan bernegara.

Bahaya ke depan  adalah apabila negara ini dikelola oleh kekuatan rahasia, para mafia, kartel, rentenir, konspirasi, komplotan, persekongkolan yang semuanya anti republika.” Dan menurut saya saat ini terasa sangat tajam sekali. Respublika menjadi urusan kekuatan gelap dari sebuah republik gelap. Respublika akan dikendalikan oleh “potentia invisibilis”  yang tak tersentuh oleh negara. Semuanya itu akan musnah kalau kita mengedepankan demokrasi delibaratif, sebagai tawaran. Semoga!!

Komentar