Oleh Ben Senang Galus
Kalau tidak ada perubahan jadwal seluruh warga masyarakat Kabupaten Manggarai akan memilih bupati periode 2020-2025. Siapapun yang menjadi pemenang dalam pemilihan nanti tidak jadi soal yang terpenting mereka memiliki visi dan misi yang jelas kemana bahtera kapal besar Kabupaten Mangarai dibawa. Teka teki siapa yang menjadi bakal calon bupati saat itu sudah nampak ke permukaan.
Ada yang terang-terangan dan ada yang masih malu-malu kucing. Diharapkan pemilihan bupati nanti dilaksanakan secara damai, elegan, jujur, adil, dan demokratis dan jauhkan dari politik “vox populi vox argentum” (suara rakyat adalah suara uang receh). Seiring dengan itu kegiatan politik di Kabupaten Manggarai menurut pantauan penulis semakin terasa, baik dilakukan oleh masing-masing pasangan calon maupun anggota masyarakat pendukung calon.
Namun yang dikhawatirkan adalah pasangan calon melakukan kampanye terselubung, baik itu melalui rapat-rapat maupun membagi-bagikan uang dari pintu ke pintu. Hal demikian memang tidak bisa dipungkiri, entah besar atau kecil para calon bisa saja melakukan praktik-praktik griliya membagikan uang. Misalnya, dengan kehadirannya salah satu calon di tempat-tempat tertentu atau melalui kampanye terselubung, itu sudah mencederai demokrasi.
Dengan menggunakan sarana, seperti gereja atau ruang-ruang publik, mereka berharap dapat membentuk opini positif dan persepsi masyarakat agar menjatuhkan pilihannya pada kandidat yang diusung. Namun bagi masyarakat yang jeli, tentunya telah memahami kesempatan menggunakan hak suara tidak boleh dijual murah, seharga baju kaos atau amplop berisi puluhan ribu rupiah, tetapi kesempatan tersebut benar-benar akan disalurkan sesuai penilaian kinerja pasangan.
Yang dibutuhkan masyarakat saat ini ialah prilaku simpatik para calon agar bisa menarik hati pemilih. Karena itu bukan lagi hal yang etis dalam berpolitik jika praktik-praktik masa lalu, masih terpelihara di alam demokrasi saat ini.
Begitu banyak persoalan yang dihadapi masyarakat saat ini, maka pemimpin yang dibutuhkan sekarang adalah orang yang memiliki visi yang kuat, untuk membangun demokrasi dan mengangkat kualitas hidup rakyat. Dengan memiliki visi itu mereka harus mampu mengangkat dan membebaskan rakyat dari segala bentuk-bentuk ketertinggalan seperti kemiskinan, kebodohan, kesehatan, perdagangan manusia dan lain sebagainya.
Dengan memiliki visi tadi ia dapat menciptakan komitmen sehingga pada akhirnya, program-programnya dapat mencapai tujuan. Pemimpin yang memiliki visi berarti pemimpin yang mampu menjawab tantangan- tantangan, krisis seperti saat ini dan tentunya memiliki keberanian dan penuh perhitungan, sikap rendah hati, sederhana, jujur, dan mau belajar dengan mendengarkan, mengamati kecenderungan yang baru muncul, mengevaluasi kegagalan yang pernah terjadi, dan mampu menyerap pelajaran dari hati nurani. Pendek kata pemimpin senantiasa mau belajar dan tidak alergi atas setiap perubahan, tantangan maupun kritik.
Seru dan ketat
Walaupun pilkada masih berlangsung tahun 2020, dan belum ditetapkan calon yang akan maju ke pentas politik pilkada, namun dapat dipastikan pilkada Kabupaten Manggarai akan berlangsung seru dan ketat. Sebab menurut kalkulasi “bola liar” para pemilih rata-rata memiliki kesadaran politik yang tinggi alias pemilih rasional.
Selain itu, pasangan calon yang akan bertarung mempunyai kelompok politik yang tinggi di pentas politik lokal, akan menggalang kekuatan massa, sehingga pemilihan bupati Kabupaten Manggarai menjadi sebuah medan laga yang tak pernah sepi dari konflik kepentingan, sehingga arena politik lokal yang berpotensi menjadi lahan subur terjadinya pertikaian politik.
Memang demokrasi merupakan suatu sistem yang sangat mahal karena banyaknya kepentingan yang diakomodir demi kelangsungan sebuah pesta demokrasi. Meskipun demikian, harus pula dipahami bahwa substansi sebuah demokrasi dalam pilkada bukan hanya sekadar memilih figur dan mengukuhkan legitimasi penguasa, akan tetapi yang lebih penting adalah terjaminnya kebebasan hak pilih, berlakunya prinsip kesetaraan dan adanya penyerapan aspirasi rakyat, sehingga mekanisme pilkada dapat mencerminkan kedaulatan rakyat demi membangun masa depan Kabupaten Manggarai yang lebih makmur.
Itulah sebabnya, seringkali dijelaskan dalam referensi sosiologi politik bahwa pemilu atau pilkada merupakan, sebuah mekanisme politik yang mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan masyarakat, sehingga terjadi suatu sirkulasi elit politik. Dan pendidikan politik memperkuat legitimasi politik pemimpin, terjadinya seleksi kepemimpinan yang dilakukan secara adil dan fair dengan melibatkan warga, serta melalui pilkada maka rakyat dapat pula melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintahan.
Setelah berlangsungnya pilkada secara langsung menunjukkan sisi keberhasilan mengisi totalitas pembangunan politik. Bandingkan dengan periode sebelumnya, demokrasi mengalami mati suri. Konstituen hanya sekadar melaksanakan kewajiban politik, berbondong-bondong memasuki bilik suara. Dengan pilkada secara langsung, demokrasi ingin dikembangkan secara kontinue dan makin bermutu, sebagai jawaban atas kegagalan demokrasi sebelumnya.
Demokrasi kini digencarkan terus menerus perbaikannya toh tidak dapat dilepaskan dari kandungannya akan komponen eksperimentasi tertentu. Bila kebenarannya setuju diukur lebih sebagai datang belakangan, selain dari ekspresif muncul melalui serangkaian proses pembangunan politik versi manapun harus menelurkan faedahnya dalam artian pragmatis. Ini berarti bahwa sistem demokrasi, sekalipun ia adalah terbaru selalu ditunggu kebenarannya dalam kesanggupan mengaktualisasikan nilai-nilai intrinsik demokrasi itu sendiri.
Maka itu demokrasi tidaklah cukup dibuktikan melalui bukti-bukti prosedural dan bahkan jika ia bernama pilkada apabila forum yang disediakan dan dibangun di dalamnya tidak mampu menunjukkan gambaran substansial nilai demokrasi. Maka pilkada tanpa getaran nilai-nilai demokrasi ia hanya akan merupakan ritual mekanis dengan kehadiran begitu banyak manusia ke tempat pemungutan suara.
Selain itu nilai-nilai demokrasi akan hilang, jika bukan rahasia lagi apabila sebelum pilkada berlangsung beberapa politisi, terutama patahan, akan melakukan manuver politik atau bergerilya yang tentunya saja dengan tujuan untuk menarik dukungan massa, melalui siraman uang. Maka jika hal ini terjadi jangan bermimpi demokrasi tumbuh subur di Kabupaten Manggarai.
Siapapun yang menjadi pemenang dalam pilkada, hendaknya dapat berjalan damai, jujur, adil, dan elegan serta menjadi contoh bagi daerah-daerah lainya di tanah air yang selalu diakhir dengan kisruh. Dengan pilkada secara damai itu berarti, kita telah memahami arti sebuah demokrasi sebagai sebuah keputusan suara hati (vox populi vox dei).
Demikian pula jika sudah berlangsungnya pesta demokrasi, dan sudah dipastikan siapa yang akan terpilih, dituntut pengorbanan dan tanggungjawabnya. Mampu bekerja sama dengan semua elemen masyarakat termasuk kalangan kampus, gereja, yang ditunjang profesionalisme tinggi, tetap menjaga keseimbangan Kabupaten Manggarai sebagai kabupaten multikultur dan pendidikan dengan pengembangan pembangunan yang berorintasi ke kabupaten modern, dan sebaliknya tidak mengejar fasilitas dari kekuasaan yang diraih dengan mengabaikan profesionalisme dan tanggungjawab.
Lepas dari itu semua ada satu hal yang entah disadari atau tidak oleh mereka yang berada dilapisan kekuasaan, yaitu mereka baru bisa diterima oleh lapisan bawah kekuasaan, bila mereka mampu mengekspresikan kemurnian moral, bersikap jujur, dan menjaga amanah, bijaksana dalam bertindak dan bertindak dengan bijaksana.
Demokrasi sungguh diperlukan untuk melakukan turning point pertumbuhan ekonomi daerahnya, yaitu sebuah titik signifikan untuk menentukan apakah daerah (Kabupaten Manggarai) yang dipimpinnya akan menjadi maju, stagnan atau mundur menjadi tertinggal dari daerah lainnya.
Demikian pula pemimpin harus menghindari dari mental boss atau penguasa. Sebab jika pemimpin bertindak sebagai boss atau penguasa, akan berbuat apa saja yang menuruti pikirnnya dan nuraninya dianggap layak untuk dilakukan. Bagi boss atau penguasa saat ini, semua tindakan yang dilakukan adalah halal karena hirarki dan posisi anak buahnya, hanya dianggap sebagai pelengkap untuk melayani keperluannya.
Penguasa biasanya tidak peduli lagi dengan kemampuannya, yang penting harus makmur dulu. Kalau sudah demikian tidak ada lagi keadilan, tidak ada lagi the right man in the right place, tapi yang ada siapa mampu memberi upeti atau memberi rasa kehormatan, maka kariernya mulus. Tanpa peduli kemungkinan upeti tersebut hasil korupsi, karena menganggap jabatan adalah kekuasaan untuk meraih keuntungan pribadi dan kepentingan golongan, demi kedudukan empuk sang penguasa saat ini.
Komentar