Menurut aturan tertulis, sebenarnya tidak ada keharusan bagi presiden, wakil presiden, dan ketua lembaga tinggi negara serta para menteri untuk menghadiri peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Namun di era Orde Baru, acara ini seakan-akan menjadi seremonial wajib.
Dan itu terjadi hingga sekarang tiap 1 Oktober pagi, Presiden Republik Indonesiamenjadi inspektur upacara Hari Kesaktian Pancasila, di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Prosesi Hari Kesaktian Pancasila
Semasa Orde Baru, ada semacam ritual pengibaran bendera untuk memperingati peristiwa G30S dan Hari Kesaktian Pancasila. Pada 30 September, bendera dinaikkan setengah tiang. Esok harinya, atau 1 Oktober, bendera dinaikkan secara penuh.
Prosesi pengibaran bendera selama dua hari itu bisa dimaknai sebagai berikut:
Bendera setengah tiang yang dikibarkan pada 30 September dimaksudkan sebagai tanda duka nasional setelah terbunuhnya beberapa perwira militer AD.
Di Jakarta, para jenderal itu adalah Ahmad Yani, Soeprapto, M.T. Haryono, Siswondo Parman, D.I. Panjaitan, Sutoyo Siswodiharjo, serta Pierre Tendean yang merupakan ajudan Jenderal A.H. Nasution. Sedangkan di Yogyakarta, ada dua perwira militer yang juga menjadi korban, yaitu Katamso dan Soegiyono.
Upacara bendera dinaikkan secara penuh sebagai simbol kemenangan berkat “kesaktian Pancasila” yang mampu menangkal ancaman ideologi komunis. Sementara masyarakat memasang bendera setengah tiang, sebagai tanda memeringati hari kesaktian Pancasila.
Ritual semacam ini seolah dipaksakan harus dilakukan oleh seluruh elemen bangsa setiap tanggal 30 September dan 1 Oktober.
Namun, setelah Soeharto lengser dan Orde Baru runtuh saat Reformasi 1998, prosesi ini jarang diterapkan lagi meski tidak hilang sama sekali.