Oleh, Ben Senang Galus
Revolusi Industri 4.0 yang diperkenalkan pertama kali pada tahun 2011 di Jerman (Hanover Fair) maupun Society 5.0 yang diperkenalkan pertama kali di Jepang, sama-sama menuntut kompetensi Sumber Daya Manusia yang berkaitan dengan Keterampilan Problem Solving, Penciptaan Nilai, Imajinasi, Kreativitas dan Inovasi, dll.
Dengan demikian 10 keterampilan utama (Top skills) untuk kompetensi tenaga kerja 2020 yang diidentifikasi oleh World Economic Forum pada tahun 2016 (Complex Problem Solving, Crtical Thinking, Creativity, People Management, Coordinating With Others, Emotional Intellingence, Judgment and Decition Making, Servie Orientation, Negotiation, Cognitve Flexibility) tetap berlaku dan relevan untuk menjadi persyaratan kualifikasi SDM dalam Era Revolusi Industri 4.0 maupun Society 5.0.
Society 5.0 akan menjadikan atau menciptakan masyarakat imajinasi (imagination/super smart society), di mana transformasi digital akan mengkombinasikan imajinasi, kreativitas, dan inovasi dari setiap orang dalam dunia fisik (Physical Space) untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial agar menciptakan nilai, dengan dibantu oleh AI (Artificial Intelligence), IoT (Internet of Things), digitalisasi, dll dalam Revolusi Industri 4.0.
Peranan manusia dalam Society 5.0 harus memiliki kompetensi global agar mampu mengendalikan peranan robot dalam membantu semua pekerjaan yang dilakukan oleh Artificial Intellegence (Kecerdasan Buatan) yang dimiliki oleh Robot-robot pintar itu.
Pemahaman tentang Lean Six Sigma, di mana Lean untuk meningkatkan nilai (value) dan menghilangkan pemborosan (Waste), serta Six Sigma untuk meningkatkan akurasi (Accuracy) dan menghilangkan/menurunkan variasi (variation) secara dramatik akan menjadi landasan kuat dan sangat relevan dalam Industri 4.0 maupun Society 5.0.
Akan terjadi disrupsi besar-besaran dalam sistem pendidikan Indonesia (banyak mata kuliah/mata pelajaran yang diajarkan akan cepat menjadi usang). Sistem pendidikan tinggi Malaysia (MyHE 4) lebih cerdas dan strategik dalam menghadapi Era Revolusi Industri 4.0 yang berfokus pada pengembangan kompetensi SDM sebagai fondasi atau landasan untuk menopang aplikasi Industri 4.0, yang sekaligus kita melihat bahwa Malaysia juga siap memasuki Society 5.0.
Sedangkan Sistem pendidikan di Indonesia hanya “berkutat” dengan perbaikan sistem seleksi masuk perguruan tinggi negeri, pembukaan program studi baru, distance learning, dll tanpa “roadmap” yang jelas dalam membangun kompetensi sdm sesuai persyaratan pasar tenaga kerja lokal maupun global (Vincent Gaspersz, 2019).
Untuk mendukung sistem Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0.
Sudah saatnya sistem pendidikan di Indonesia memperkenalkan sistem pembelajaran HOTS ( Higher Order Thinking of Skills). Ada tiga keutamaan dalam sistem pembelajaran HOTS. 1). Kemampuan memecahkan masalah kompleks, 2). berpikir kritis, 3). kreativitas.
Penguasaan ketiga kemampuan utama yg dibutuhkan masa depan menjadi tanggungjawab dunia pendidikan. Anak yang sekarang yang duduk di bangku sekolah merupakan pemilik masa depan. Masa depan dengan konstruksi Masyarakat 5.0, tapi sekaligus berada pada era Volatility, Uncertainty, Ccomplexity and Ambiguity (VUCA): penuh gejolak, tidak pasti, rumit, dan serba kabur.
Maka para pemegang masa depan tersebut tidak cukup dengan bekal ilmu pengetahuan, tapi juga cara berpikir. Cara berpikir yang diperkenalkan adalah cara berpikir beradabtasi di masa depan, yang disebut Five Minds of the Future, meliputi: 1. The disciplinary of mind,
2. The synthesing mind
3. Creating mind,
4. The respectfull mind,
5. The critical mind
Cara berpikir itulah yang disebut cara berpikir tingkat tinggi (HOTS).
Berpikir ala HOTS adalah bukanlah berpikir biasa-biasa saja, tetapi berpikir secara kompleks, berjenjang, dan sistematis (ala berpikir filsafat- radikal, universal, konseptual, koheren/konsisten, dan sistematis). Pembiasaan HOTS hanya diperoleh jika peserta didik selalu dikenalkan dan merasakan langsung situasi dunia nyata. Dunia universal yang bisa dijelajahi menggunakan fasilitas laman daring.
Guru hanya berperan ssebagai fasilitator untuk menawarkan atau dalam menemukan solusinya. Harapanya solusi yang dimunculkan bukanlah solusi usang atau sekadar copy paste. Tapi solusi yang memiliki nilai kebaruan sesuai konteks situasi yang baru pula. Itulah kreativitas dan inovasi.
Dalam Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 diharapkan dalam sistem pendidikan kita menghasilkan tujuh kemampuan wajib generasi masa depan, antarlain:
1. Great collaborators and orchestrator
2. The great synthesizers
3. The great explainers
4. The great leveragers
5. The great adapters
6. The green people
7. The great localizers.
Five Minds of the Future dan tujuh kemampuan wajib itu akan diramu dalam sebuah metode yang disebut dengan Disruptive Technology.
Pada SMA, seperti 1) Competency-based Education: siswa mempunyai kemampuan berbeda-beda. Bantuan teknologi digunakan untuk memudahkan mahasiswa/siswa membentuk kemampuannya. 2).The Internet of Things: Peningkatan konektivitas semua peralatan yang ada akan membuat komunikasi lebih mudah antara siswa dengan guru, 3) Virtual/Augmented Reality: Virtual reality dapat membuat seolah-olah siswa benar-benar melaksanakan kegiatan pembelajaran praktik/praktikum (terutama untuk praktikum yang membahayakan atau kompleks), 4) Artificial Intelligence (AI): Online learning platform dengan bantuan AI, dapat beradaptasi dengan kebutuhan siswa/mahasiswa.
Untuk mewujudkan konsep pendidikan 4.0 dan Society 5.0, hendaknya lembaga pendidikan di tanah air mengembangkan tiga langkah strategis dan inovasi yang meliputi:
1. Implementasi menyeluruh Outcome Based Education (OBE). Pembelajaran yang dikembangkan melalui kurikulum digunakan untuk menghasilkan profil lulusan dengan kompetensi yang mampu menjawab kebutuhan pengguna (graduate employability).
Penerapan pembelajaran berbasis luaran (outcome based education) menjadi sebuah keharusan untuk memberikan ruang dalam merumuskan capaian pembelajaran (learning outcome); desain ulang kurikulum, pengembangan karakter dan kreativitas siswa/mahasiswa, keselarasan yang konstruktif antarkompetensi, metode pembelajaran, hingga sistem penilaian.
2. Pengembangan Motode dan Konten Pembelajaran, melalui empat model.
Pertama, Student Centered Learning. Paradigma pembelajaran diarahkan dengan mengganti peran dosen/guru menjadi fasilitator dalam proses pembelajaran. Implementasi student centered learing (SCL) yang dikombinasikan dengan student teacher aesthetic role-sharing (STAR). Metode yang harus digunakan adalah experience based learning, experiment based learning, project based learning, dan flipped learning.
Kedua, implementasi Blanded Learning. Blended learning merupakan pembelajaran yang dilakukan dengan mengkombinasikan pelaksanaan pembelajaran secara tatap muka di kelas dengan pembelajaran interaktif dalam jaringan (daring). Mentode ini mendorong siswa/mahasiswa menggunakan sumber belajar internal dan eksternal dengan memanfaatkan teknologi informasi.
Ketiga, Visual Based Learning. Konten pengetahuan harus dikuatkan menggunakan bentuk visual media berbasis TI berupa video, grafik, simbol, kata kunci, animasi,dll.
Keempat, desiminasi Pengetahuan Melalui Kanal Pengetahuan dan Menara Ilmu. Pemanfaatan produk desiminasi pengetahuan melalui kanal pengetahuan dan menara ilmu berpotensi menjadi pelengkap sumber belajar eksternal. Kanal pengetahuan harus dikembangkan untuk mewadahi berbagai bentuk desiminasi pengetahuan yang dikemas dalam menara ilmu, video dokumenter, webinar, Massive Open Online Corse (MOOC) dan berbagai bentuk desiminasi lain yang harsu dikembangkan, semisal academic production house, sebagai pusat pengembangan dan produksi konten-konten berbasis audio visual pendukung sumber belajar dan desiminasi pengetahuan.
3. Penyediaan Learning Space Pendukung.
Karakteristik generasi Y dan Z yang akrab dengan dunia digital memudahkan mereka dalam membangun jaringan sosial (social nerwork), mengeksplorasi sumber belajar, berani menerima tantangan (risk taker), berkolaborasi lintas disiplin (borderless of sciences), dan selalu berambisi menghasilkan sesuatu hal yang baru dan berbeda.
Fasilitas proses dan metode pembelajaran yang fleksibel, kreatif, berbasis capaian, dan berorientasi pada hasil/prestasi dengan menyedikan ruang-ruang terbuka yang saling berjejaring dan kerja bersama (co-working space) menjadi sebuah kebutuhan yang harus disediakan.
Cybernetics Dalam Pendidikan Masa Depan
Menghadapi era 4.0. dan sosciety 5.0, sepertinya kita menghadapi masalah. Para guru (daerah terpecil) dan dosen mungkin tidak siap memasuki dunia sibernetika ini dan memaksa menghadapi para mahasiswanya/siswanya untuk menghidupi dunia fisik semata. Bila ini yang terjadi maka akan merugikan semua pihak karena pendidikan akan kehilangan kesempatan menegosiasikan ruang fisiknya menjadi bagian penting dari ruang sibernetika.
Padahal ruang fisik memiliki beberapa kelebihan seperti otensisitas, kepastian, kehangatan otentik serta kepermanenan. Sementara itu, bagi homo connecticus, ruang fisik haruslah semudah dan senyaman ruang maya. Untuk itu ruang fisik harus menjadi alternatif terjadinya relasi yang lebih intim dan hangat dibanding ruang maya. Hal ini membawa banyak konsekeunsi mulai dari penataan ulang kantin, kelas, laboratorium dan perpustakaan.
Ruang-ruang tersebut harus kita tata ulang sehingga menjadi ruang sibernetika di mana ketersediaan sarana fisikal sama penting dengan ketersediaan sarana digital.
Secara khusus, kerangka sibernetika ini akan memaksa guru/dosen menggagas ulang tentang konsep kelas kuliah beserta mimbarnya. Kelas bukan lagi menjadi tempat satu-satunya pertemuan.
Bahkan, kehadiran secara fisik siswa tidak serta merta menyatakan kehadiran diri sepenuhnya. Sebab, meskipun secara fisik hadir di kelas, siswa dapat secara digital hadir di tempat lain yang ribuan kilometer jauhnya. Untuk itu, kelas harus menjadi ruang yang sungguh menghadirkan care otentik dan bermakna bagi siswa.
Idealnya, care tersebut bukan hanya semata pengalihan perhatian siswa ke kelas fisik tetapi sebisa mungkin menjadi realitas di ruang sibernetika. Artinya, care otentik sebaiknya mewujud dan berkembang dalam format dan bahasa ruang sibernetika. Menyaksikan bersama-sama lalu mendiskusikannya di kelas sebuah video dari kanal youtube.com memakai sarana audio berkualitas di kelas akan merupakan salah satu contoh bagaimana cara menghidupi kelas sibernetika.
Pengetahuan dan nilai-nilai yang menjadi hal paling pokok dalam pendidikan akan menjadi hal yang paling sulit untuk digagas ulang dalam ruang sibernetika ini. Perkara ini mejadi semakin pelik manakala pengetahuan dan nilai-nilai kita pahami lebih sebagai perkara otoritas yakni menjadi hak milik, bersumber pada, atau kewenangan dari pendidik. Internet telah lama ‘mengobrak-abrik’ prinsip ini karena informasi dan pengetahuan saat ini telah menjadi bersifat sangat terbuka dan bebas, sangat melimpah, dan sangat murah.
Hal yang paling penting dari semua itu ialah pendidikan kita saat ini maupun ke depan tidak meninggalkan segi-segi motivasi kebudayaan Indonesia sebagai dasar perjuangannya dan tidak ketinggalan dalam perubahan teknologi terkini. Pendekatan pendidikan cara baru dapat kita ciptakan berlandaskan pada keyakinan, bahwa setiap manusia dikaruniai kecerdasan sangat tinggi (Everyone is born a genius, but the process of life de-geniuses them- R. Buckmisnter Fuller), atau meminjam kata-kata Albert Einstein, ”everybody is a genius, but if you judge a fish by its ability to climb a tree it will live its whole life believing that it is stupid”.
Pandangan ini telah ditunjukkan kenyataannya seperti diungkapkan Carol S. Dweck, dalam Grow Your Mindset (2006), bahwa kecerdasan dapat meningkat asalkan dimulai dari perubahan mind set. 1.Your intelligence is something very basic about you that you can’t change very much, 2. You can learn new things,but you can’t really change how intelligence you are, 3. No matter how much intellegence you have, you can always change it quite a bit, 4. You can always substantially change how intelligence you are.
Empat pernyataan penting mindset yang digagas oleh Carol S. Dweck dapat memandu pilihan keyakinan kita akan kemungkinan kebangkitan potensi kecerdasan manusia bagi yang mengikuti butir 3 dan 4. Kecerdasan dapat meningkat dimulai dari perubahan mindset dan apa yang disampaikan oleh Carol S. Dweck telah menjadi pemikiran para leluhur kita sejak berabad-abad lampau.
Sebab bagaimana pun, kemampuan memperbaiki pendidikan masa depan adalah suatu keniscayaan. Bagaimana caranya? Kita dapat membangkitkan kecerdasan kolektif bangsa Indonesia dengan melakukan sintesa dengan kemajuan Barat dan Timur khususnya menjabarkan nilai-nilai tinggi dan terpuji bangsa Indonesia ke dalam proses pendidikan kita masa depan.
Bekerja di Dinas Dikpora DIY
Organisasi: Institut Kebijakan Publik Indonesia, Komite Rekonstruksi Pendidikan, penulis buku dan juga pemerhati Pendidikan, tinggal di Yogyakarta
[Admin/Silve]
Komentar