Kemudian, soal rendahnya literasi komunikasi dikarenakan kurangnya pemahaman masyarakat dalam membedakan opini yang berisi ujaran kebencian dengan fakta yang beredar di ruang publik. Kita paham bahwa salah satu instrumen yang digunakan untuk menyebarkan politik kebencian adalah Medsos. Tanpa literasi komunikasi orang gagal membandingkan opini dan fakta. Faktor ketiga yakni buruknya kelembagaan politik. Kondisi ini terjadi karena partai-partai cenderung memusatkan kekuasaan di tangan elite. Partai dianggap sering kali gagal mengelola konflik yang berimbas ke level masyarakat. Hampir selalu gagal mengelola konflik. Konflik-konflik internal di parpol membawa konsekuensi kalau tidak partainya pecah, kemungkinan kedua adalah konflik akan masuk ke penagdilan dan berlarut-larut.
Baca Juga: Industri Prospektif Masa Depan Indonesia
Politik identitas juga tumbuh subur karena polarisasi politik. Model politik identitas, kata Arif, mulai mencul di tahun 2016. Efek dari model politik ini punya efek sangat kuat dan menimbulkan pembelahan di masyarakat.Dengan polarisasi yang tegas maka sangat mudah bagi elite politik untuk memicu konflik yang menyebabkan pembelahan.
Terakhir karena lemahnya kewenangan Presiden Joko Widodo terhadap dua institusi TNI-Polri. Padahal, isu SARA disebut bukan isu baru yang bisa ditangani oleh pemerintah pada tahun 2009 , 2014 dan 2019 lalu. Lemahnya grip atau cengkraman kekuasannya Jokowi pada hampir semua level. Salah satu yang paling repot adalah karena grip kekuasaan Jokowi pada 2016, 2017,2019 tidak cukup kuat di TNI-Polri.
Jika kita mau, tahun 2019 bisa saja kita sebut tahun politik identitas, karena di tahun inilah kita begitu mudah menemukan isu identitas menggelinding bebas. Pada kasus-kasus tertentu, politisasi identitas bukan saja telah berhasil membuktikan keampuhannya secara telanjang di hadapan kita, tetapi juga telah menghadirkan kenyataan-kenyataan baru yang begitu dahsyat,terlebih saat perhitungan hasil akhir Pilpres 2019, melebihi era-era sebelumnya.
Berkenaan dengan kenyaataan ini, tentu masih segar dalam ingatan kita, bagaimana kekuatan isu identitas terbukti ampuh memukul jatuh seorang gubernur petahana yang pada waktu itu memiliki tingkat elektabilitas luar biasa, bahkan dengan angka kepuasan publik mencapai lebih 70 persen. Bercermin dari peristiwa ini, dalam alam politik yang serba cair —untuk tidak memgatakan pragmatis— sangat mungkin akan muncul rentetan-rentetan peristiwa serupa pada tahun-tahun selanjutnya.
Faktanya, menjelang akhir perhitungan hasil akhir Pilpres 2019, secara kasat mata dapat kita saksikan isu-isu identitas kian ramai menyeruak. Berbagai pihak, khususnya kalangan elite politik tertentu, kian matang dan piawai memanfaatkan situasi. Sentimen-sentimen atas nama identitas menyebar luas ke ruang publik. Ironisnya, masyarakat sebagai subjek politik acap menerimanya dengan sukarela. Bahkan beberapa kelompok menyambutnya dengan gelora heroisme diri, yang kemudian memolesnya dengan terma-terma pembelaan terhadap keyakinan, kebangkitan kaum pribumi, perlawanan atas penjajahan ekonomi kelompok “asing”.
Menggaet Agama