oleh

“Mbecik”: Sebagai Bentuk Kritik Sosial (Kah?)

Pada bagian terdahulu penulis mengatakan bahwa mbétjik memiliki nuansa negatif dan tidak solutif. Ada ujaran kebencian atas atas tutur kata atau tindakan pihak di luar dirinya tanpa memberikan jalan solusi atas problematika tersebut. Dalam konteks ini penulis mencoba merubah paradigma mbétjik dari sekedar mengolok, mencercai, ujaran kebencian (nuansa negatif) menjadi kritik sosial.

Baca Juga: Birokrasi Penyangga Kapitalisme

Ketika menelusuri informasi dalam sosial media, khusunya Facebook, kerap kali penulis menemukan mbétjik. hemat penulis, keberadaan mbétjik di ruang publik seperti Facebook sangatlah besar. Oleh karena beredar bebas di media sosial, hemat penulis, tak sedikit pula masyarakat yang termakan. Kendatipun inovator sosial media meluncurkan sosial media untuk tujuan edukatif, ekonomis, komunikasi kemanusiaan dan hal-hal positif lainnya serta pemerintah sudah mengatur komunikasi sosial dalam regulasi ITE, namun ada-ada saja pihak tertentu memanfaatkan sosial media untuk mbétjik. Bahkan beberapa waktu lalu pemerintah membatasi akses sosial media untuk beberapa hari dan menjeratkan para pelaku dengan pasal-pasal pelanggaran hukum. Hal ini disebabkan oleh maraknya penggunaan tutur kata  mbétjik  yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu.

Selain itu, hal ini terus berkembang pesat oleh karena peran followers menjadi penting. Followers kerap kali mengompori dan  mengikuti langkah individu tersebut sehingga pertikaian meluas menjadi antar pengikut. Hemat penulis, tanpa disadari justru Followers dijadikan perisa bagi para pemilik statement untuk mencari dukungan dan mekanisme bela ego, yang hampir pasti jalan tengah hampir tak dimiliki.

Solusinya? Berdialektika. Terkadang berhasil, tetapi lebih banyak gagalnya. Para mbétjikor (orang yang hobi mbétjik) adalah pengecut dan pengemis perhatian  dengan selalu memakai dukungan pengikutnya untuk menjatuhkan lawannya. Mereka sering membuat statement baru dan menyebarluaskannya di media sosial untuk dibaca followers-nya, sehingga munculah drama baru.  Memang, pada sisi lain, ada followers yang berupaya untuk berdialog dan memaknai mbétjik tersebut dengan nuansa positif, mengungkapkan fakta sosial, menyodorkan jalan keluar atau mengambil nilai positif dari mbétjik tersebut. Dalam konteks ini, followers tersebut mencoba keluar dan membuat suatu paradigma baru dari mbétjik, dari hanya sekedar bernuasa negatif menjadi nuansa positif,  atau pun kritik sosial yang membangun.

Hemat penulis, Mbétjik selalu seksi, memikat dan menarik perhatian banyak pihak. Sebenarnya dalam konteks mbétjik, penulis merasa sedikit iba kepada mbétjikor. Para mbétjikor dapat disimpulkan sebagai “orang yang sengaja mencari perhatian” atau sebagai “orang yang kurang perhatian dan hobi mengkambinghitamkan” sosial media untuk mencari perhatian followers. Hemat penulis, tutur kata Mbétjik yang digunakan oleh para mbétjikor sesungguhnya tengah memperlihatkan diri mereka yang yang sangat memprihatinkan, mejadi korban, pesakitan dan karena itu “ingin dikasihani”. Mereka mencoba berakting dan mendramatisasi seolah-olah pihaknyalah yang dirugikan, terkenah musibah dan tertekan. Sungguh menggelikan, menjijik dan mengerikan. Selain itu, Para mbétjikor juga mungkin mengalami gangguan pikiran, perasaan dan kehendak, sehingga mereka begitu ngotot melakukan mekanisme pembelaan diri yang lebih bercorak primitif (primary prosess degence). Mereka mungkin lagi mengalami identity diffusion (kekaburan identitas) dalam terminologi Kernberg. Aktualisasi diri yang keliru ini semata-mata hanya untuk mendapatkan perhatian followers yang konyol juga dan dengan mudah tertipu dan berkomentar yang semakit hot, dan dalam konteks yang bernuansa politik ini, tujuannya tidak lain, memeperoleh dukungan.

Persepsi tentang negatif atau positifnya mbétjik amatlah relatif, tergantung sudut pandang dan siapa audiens atau pembacanya. Mbétjik harus dilihat sebagai penyakit sosial yang harus diobati.