Dalam ranah politik, hemat penulis, kerap kali ditemukan pelbagai bentuk mbecik dalam bersosial media. Dalam perkembangan saat ini, mbétjik tidak hanya dilihat sebagai tutur kata atau pola tindakan verbal dalam mengolok atau mencercai pihak lain semata dalam konteks kehidupan sosial harian pribadi atau kelompok tertentu, namun juga dapat dilihat dalam bersosial media yang mendeskripsi wacana dan opini publik yang menggambarkan kehidupan pribadi atau sekelompok masyarakat yang tidak berkenan sesuai dengan keingingan pribadinya atau menyimpang dari etika kehidupan atau dengan sengaja untuk memojokkan pribadi atau kelompok tertentu.
Sosial Media Sebagai Sarana “Mbétjik”
Ketika tulisan ini digarap, negara ini – dari Sabang hingga Marauke – dan 100-an negara lainnya di dunia ini, sedang dirundung malapetaka pandemi covid-19, yang telah meruntuhkan kehidupan sosial, kesehatan dan ekonomi. Manggarai juga tak luput dari bencana ini. Di tengah hiruk pikuk merebaknya pandemi covid-19 yang belum juga tahu kapan ending-nya dan telah menggerus habis pikiran, mental dan material, masyarakat Manggarai juga harus dihadapkan pada aktivitas pemilihan kepala daerah 5 tahunan.
Pelbagai upaya dan niat baik untuk membasmi penyebarluasan atau mempersempit ruang gerak pandemi covid-19 seperti melalui pembatasan ruang gerak antar daerah dengan portal di perbatasan atau istilah kerennya PSBP (Pembatasan Sosial Berskala Besar), peningkatan taraf hidup masyarakat melalui pembangunan industri, pertarungan politik untuk menjadi pimpinan dalam satu wilayah tertentu dengan mengutamakan etika, hemat penulis, dianggap sebagai konyol, bodoh, dipolemik, divonis bersalah dan tidak memihak rakyat kecil tetapi justru berpihak pada: pemilik modal/penguasa atau pencitraan diri bagi para pemimpin daerah atau kandidat tertentu. Bahkan ada yang menilai dan menuntut mana regulasinya serta ada oknum yang berlagak sebagai pahlawan kesiangan dengan menyalahkan semua tindakan orang lain. Apalagi kalau sudah dipolitisasi, hancur sudah.
Dalam tulisan sederhana ini, Penulis tidaklah berprasangka buruk, apalagi mau menyebarluaskan mbétjik. Namun, dalam tulisan ini, penulis bermaksud untuk menelaah semua tutur kata mbétjik dalam sosial media sebagai bentuk wacana atau pun kritik sosial. Bahwa semua tutur kata mbétjik dari para pemimpin daerah, kandidat atau aktivis serta komentar dari followers memiliki tujuan yang sama yakni bolek loke baca tara, bonum commune, keselamatan dan kebahagiaan kemanusiaan (asalkan semua tutur kata dan tindakan tersebut tetap menempatkan harkat dan martabat manusia di atas segalanya).
“Mbétjik” Sebagai Bentuk Kritik Sosial (Kah?)
Oksinata (2010:33) menjelaskan bahwa kritik sosial merupakan sebuah inovasi. Kritik sosial menjadi model komunikasi dalam masyarakat untuk menyuarakan gagasan baru di samping menilai gagasan lama untuk suatu perubahan sosial dan sebagai kontrol terhadap jalannya sebuah sistem sosial atau proses bermasyarakat. Berdasarkan uraian ini dapat dikonklusikan bahwa kritik sosial merupakan suatu masukan (input), sanggahan, sindiran, tanggapan, atau pun penilaian terhadap sesuatu yang dinilai menyimpang atau melanggar nilai-nilai yang ada di dalam kehidupan sosial masyarakat.
Kritik sosial muncul karena ada gap antara das sollen dan das sein, antara harapan dan kenyataan yang memiliki dualisme. Problematika itu bisa saja memang sungguh-sungguh ada sebagai bentuk reaksi atau dampak atas perubahan/berjalan di tempat suatu aktivitas bersama. Bisa juga problem itu sengaja diciptakan untuk mencegal lawan. Hemat penulis, problematika tersebut tentunya meresahkan masyarakat. Banyak hal yang diresahkan oleh masyarakat, seperti kemiskinan, kejahatan, gap antara generasi muda dan generasi tua, pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat, masalah lingkungan hidup, pelacuran dan sebagainya. Namun, dalam tulisan sederhana ini, penulis memfokuskan tulisannya pada tutur kata Mbétjik dalam lingkup Sosial Media, khusunya Facebook dalam kontek Pilkada.