oleh

Mayoritas Masyarakat Adat Poco Leok Dukung PLTP Ulumbu Unit 5-6: Narasi Penolakan Dinilai Tidak Berdasar

Manggarai, SwaraNTT.net – Dukungan mayoritas masyarakat adat Poco Leok terhadap pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu Unit 5-6 semakin menguat. Di tengah polemik antara pihak pro dan kontra, tokoh adat, pemerintah daerah, serta konsultan sosial proyek ini menegaskan pentingnya keberlanjutan proyek sebagai upaya mendorong transisi energi nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Taddeus Dappang, salah satu tokoh masyarakat Poco Leok, menyatakan bahwa penolakan terhadap proyek ini didorong oleh provokasi pihak tertentu.

“Kelompok pro dan kontra ini dimunculkan karena ada segelintir orang yang mempengaruhi mereka. Pemerintah dan teman-teman dari geothermal sudah melakukan pendekatan yang persuasif, tapi kelompok kontra ini tidak mau mendengar,” jelasnya.

Dukungan Mayoritas Masyarakat Adat

Musyawarah adat telah menjadi langkah penting dalam membangun kesepakatan terkait PLTP. Taddeus Dappang menambahkan, “Kami pernah diundang di gendang Mesir. Ada sekitar 10 gendang hadir dan kami bersepakat di depan tim independen dari KfW (MFC) agar pembangunan geothermal di Poco Leok ini berjalan. Dengan adanya proyek ini, saya yakin masyarakat Poco Leok akan lebih baik.”

Senada dengan itu, Alfons Syukur, Tua Gendang Tere, menegaskan bahwa narasi penolakan tidak mencerminkan keseluruhan masyarakat adat.

“Penolak itu identik dengan masyarakat adat, padahal yang sebenarnya terjadi di Poco Leok, sebagian masyarakat adat mendukung geothermal. Apa buktinya? Mereka menyerahkan lahan milik mereka untuk geothermal,” katanya.

Romanus Inta, Tua Gendang Lungar, bahkan mempertanyakan motif di balik penolakan.

“Tidak jelas alasan mereka. Sampai saat ini tidak jelas. Mereka anti dengan pemerintah, apa tujuannya? Dengan kami, pemilik lahan, apa tujuannya? Tidak ada tujuan, hanya mereka pergi demo terus,” ujarnya.

Ia juga menyoroti keterlibatan beberapa pihak luar yang dinilai memengaruhi opini masyarakat melalui pendekatan emosional.

“Media seperti Floresa dan kelompok seperti JPIC SVD hanya membangun narasi yang tidak berimbang. Mereka lebih banyak memainkan emosi masyarakat, bukan menawarkan solusi. Padahal, kami di sini sebagai masyarakat adat yang mendukung, punya alasan dan dasar yang kuat untuk melanjutkan proyek ini,” tambah Romanus.

Posting Terkait

Jangan Lewatkan