Oleh Ben Senang Galus
Bila kita bertanya, bagaimana kondisi sosial budaya kita saat ini? Jawabannya tunggal: tidak normal. Berbagai sebab kemungkinan tidak normalnya kondisi sosial budaya kita dapat diduga,
Pertama, kebudayaan kita telah mengalami involusi. Generasi muda akan rapuh kepribadiannya dan mudah diombang ambing oleh proses perubahan yang tidak menentu.
Kedua, masyarakat kita akan semakin menipis perasaan kolektif dan mengalami disharmoni luar biasa. Karena kurang menghargai konsensus dalam mengelola kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kekerasan menjadi pilihan masyarakat yang nota bene tidak hanya dilakukan oleh aparat keamanan yang secara sah memiliki monopoli atas perangkat kekerasan (organized violence). Masyarakat akan tenggelam dan terpaksa ikut arus oleh kebijakan pemerintah yang tidak terkontrol sebab pemerintah tidak punya pengendalian arah dan perubahan di sekitar kita.
Ketiga, lapisan dalam kebudayaan kita ethico-mythical nucleus yang merupakan central point of reference (Leo Kleden, 1995) telah mengalami pembusukan, seperti moral dan etika. Dalam masyarakat akan terjadi penyimpang etika dan moral yang serius, seperti penyalagunaan wewenang, KKN dan pelanggaran HAM akan tetap menghiasi ruang publik dan media.
Tidak normalnya kondisi sosial budaya tadi bisa disebut sakit seperti yang dimaksudkan oleh Erich Fromm ketika ia menulis The Pathology of Normacy atau yang diucapkan oleh Raden Mas Ngabehi Ronggowarsito yakni jaman iki edan yen ora edan ora keduman.
Oleh karenanya kita mesti mencoba memahami proses perubahan yang kondisional dari kebudayaan Indonesia.
Sekarang sedang ada perubahan besar masyarakat modern, dari masyarakat industri ke masyarakat informasi. Modernisme yang bergerak sampai ke pedesaan, agaknya telah mengubah bukan hanya mentalitas bangsa, tetapi juga kondisi materialitas bangsa.
Bahkan beberapa orang yang berharap melihat perubahan yang terjadi, mengharapkan Indonesia menjadi Indonesia Incoporated. Modernisasi kita lebih meniscayakan munculnya teknokrasi, energi listrik, transportasi lancar, semua merupakan perwujudan dari teknologi ini (Darmanto Yatman, 1996).
Demikianlah modernisme di Indonesia terjadi tidak dengan sendirinya mengundang emansipasi dan humanisasi, bahkan memakan anak kandungnya sendiri. Di tengah gegap gempitanya pemerintah kita membangun Indonesia ini telah mengorbankan segala nilai kemanusiaan, maka tampak para generasi muda maupun tua mengalami krisis kebingungan luar biasa. Mereka terjebak dalam keserakahan arus kuat modernisasi, dan bahkan melepaskan segalanya yang dimiliki. Akan kah mereka memilih sikap agresif?
Tiga Tipologi
Sadar atau tidak pembangunan saat ini maupun ke depan akan memisahkan masyarakat menjadi tiga tipologi yang berbeda tajam.
Pertama adalah kelompok inti (core society ), mereka adalah penguasa atau orang-orang yang dekat dengan penguasa atau bisa disebut sisa-sisa penguasa feodal yang memonopoli sebagian besar sumber daya alam milik rakyat.
Kedua, kelompok setengah pinggiran (semi peripheral society), mereka adalah para idealis, masyarakat rasional, mereka tidak membutuhkan penghargaan yang tinggi. Yang termasuk dalam komunitas ini adalah golongkan cendekiawan, seniman, penulis. Mereka jauh dari kekuasaan atau harta, yang menurut WS. Rendra mereka adalah orang-orang yang berumah di atas angin , tidak mau terikat oleh suatu sistem yang menghalangi kebebasannya.
Ketiga, kelompok pinggiran (peripheral society), kelompok tidak stabil, mudah bergeser dari satu sektor ke sektor lain, cepat berpindah pekerjaan, tidak mempunyai idealisme, hidupnya sederhana, kehidupan ekonominya berlangsung dari tangan ke mulut, Namun mempunyai andil besar terhadap kekuasaan ( contohnya pada waktu pemilu). Masyarakat ini kita sebut saja masyarakat miskin dan membutuhkan pembelaan.
Pola interaksi sosial ketiga tipologi masyarakat di atas dikendalikan oleh kekuasaan dan kekuatan modal. Dengan demikian kesenjangan budaya semakin lebar, ternyata menimbulkan gesekan-gesekan justeru karena masih kuatnya pengaruh beasmtaat pada lapisan core society. Kecenderungan hidup eksploitatif pada core society melahirkan tirani kekuasaan, dan menempatkan kekayaan atau kesewenangan sebagai tujuan prilaku dan faktor penentu untuk mengukur kedudukan sosialnya dalam masyarakat.
Bagaimana pula hubungan negara dengan warga negara saat ini? Hubungan warga negara dengan negara mengandaikan hubungan oposisi biner, negara diposisikan sebagai institusi yang kuat, sementara warga negara pada posisi lemah. Negara yang memiliki kekuasaan menindas dan warga negara ditempatkan di bawah kekuasaan negara. Sangat mungkin terjadi negara mendikte warga negara sampai pada ruang privat.
Kontrol negara maupun non negara (oligarki) begitu kuat atas warga negara secara politis akan melahirkan wacana juridicapolitis, ruang yang secara politis dikontrol ketat oleh suatu jenis kekuasaan dan kekuatan tertentu, ruang kebudayaan semakin sempit oleh pertarungan politik, ekonomi dan media sosial yang membuat nalar kebudayaan masuk dalam lorong gelap, atau dengan kalimat lain kita telah mengalami apa yang disbeut lubang hitam kebudayaan (Ben Senang Galus, 2018).
Dampak yang paling parah hubungan negara dengan warga negara dalam oposisi biner sebenarnya bukan terletak pada kerusakan sistem ekonomi semata, namun lebih pada kerusakan psikologis. Dalam oposisi biner terdapat struktur kekuasaan di mana warga negara diposisikan sebagai warga tidak berdaya. Demikian pula dalam struktur kebudayaan masyarakat muncul oposisi minoritas mayoritas, pusat dan daerah yang begitu kuat karena dikonstruksi dalam binaritas kuat lemah.
Masyarakat kita dikonstruksikan menjadi amnesia kebudayaan yang menjadikan masyarakat tercerabut dan tak pernah bisa kembali pada identitasnya semula, sehingga memengaruhi pola prilaku masyarakat kita. Masyarakat yang dibentukpun seolah-olah mengalami krisis identitas atau krisis percaya diri, tidak memiliki pegangan kebudayaan dan mudah digagalkan dan diombang ambingkan oleh relasi ketergantungan ( Simon Philpott, 2000).
Kondisi sosial budaya kita saat ini tidak banyak berubah, bahkan beberapa aspek penting dari kebudayaan kita mengalami degradasi, terutama menyangkut nilai, tujuan latar belakang dan sifat dasar penampilannya. Misalnya dalam kehidupan demokrasi. Demokrasi menjadi kehilangan spiritnya yang justeru mendewasakan orang Indonesia dalam berpolitik, demokrasi mulai menampakkan dirinya sekadar slogan. Nilai-nilai demokrasi semakin hilang bahkan punah karena kita lebih mengutamakan demokrasi prosedural dari pada demokrasi dalam pengertian bonum commune (kebahagian orang banyak).
Agar kondisi sosial budaya menjadi lebih baik dari sekarang ini kita harus membangun kebudayaan baru yang relevan dengan alam pikiran kebudayaan Indonesia, dengan mengutamakan pendidikan karakter, mengutamakan etika dan moral, mengutamakan demokrasi, mengutamakan HAM, mengutamakan iptek yang humanis dan ramah lingkungan, mengutamkan pendidikan berbasis kebudayaan, mengutamakan bisnis yang beretika, mengutamakan politik yang bermartabat, mengutamakan nasionalisme dan cinta tanah air, mengutamakan komunikasi yang beretika. Semuanya itu akan menjadi baik jika penyelenggara negara maupun masyarakat kita berhati baik dan menaati segala aturan yang berlaku.
Ben Senang Galus, penulis buku Kuasa Kapitalisdan Matinya Nalar Demokrasi, tinggal di Yogyakarta
Komentar