JPIC adalah organisasi yang membawa nama Gereja. Namanya saja Justice, Peace and Integrity of Creation (Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Captaan).
Saya membayangkan, yang ada di organisasi ini adalah figur-figur yang berasal dari berbagai disiplin ilmu, sangat ahli dibidangnya, dan memiliki integritas tinggi. Nyatanya tidak demikian.
Dalam pengaduan ke Komnas HAM mestinya yang dikedepankan adalah objektivitas. Bukan manipulasi fakta
Bagaimana mungkin JPIC tidak menyebut bahwa dari 163 keluarga di Lengko Lolok dan Luwuk ada 154 keluarga yang setuju tambang batu gamping dan pabrik semen?
Mengapa JPIC melakukan sebuah tindakan “gebyah uyah”, kata orang Sunda yang artinya “menggeneralisasi” seakan seluruh keluarga terdampak menolak tambang dan pabrik semen!
Jika HAM sembilan keluarga menjadi perhatian, bagaimana dengan HAM 154 keluarga yang setuju tambang batu gamping dan pabrik semen.
JPIC adalah elemen institusi gereja yang selayaknya memahami apa yang disebut oleh Paus Yohanes XXIII dengan “aggiornamento”, yaitu membuka jendela untuk melihat perubahan dunia terjadi dengan begitu banyak cepat. Tanpa mengindahkan “aggiornamento”, maka JPIC akan mengalami “qui ascendit sinela bore, disendit sine honore” , artinya yang naik panggung tanpa persiapan akan turun tanpa kehormatan.
“Concern” Dunia
Bukan cuma JPIC. Semua manusia beradab di dunia kini concern terhadap lingkungan. Sejak tahun 2000, PBB meluncurkan Milenium Development Goals (MDGs Tujuan Pembangunan Milenium) yang berakhir 2015.
Karena sejumlah tujuan MDGs belum tercapai, PBB mencanangkan Sustainable Development Goals (SDGs). Ada tujuh dari 17 target SDGs untuk menjaga lingkungan.
Ketujuh target itu adalah air bersih dan sanitasi, akses pada energi yang terjangkau, pembangunan berkelanjutan, konsumsi dan produksi berkelanjutan, mencegah dampak perubahan iklim, menjaga sumber daya laut, dan menjaga ekosistem darat.
Jika MDGs menekankan empat konsep berkelanjutan yakni planet, people, dan profit (PPP)–, SDGs menambah dua prinsip lagi, sehingga menjadi 5P. Dua prinsip tambahan itu ialah peace dan partnership.
Baca Juga: WALHI; NTT Butuh Pangan Bukan Tambang Minerba
Sebagai negara yang mendukung SDGs, Indonesia juga concern menjaga lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Tapi, ini tidak serta-merta menghentikan energi fosil dan penambangan. Karena ketergantungan peradaban manusia terhadap energi fosil masih terlalu besar. Selama energi fosil masih dibutuhkan, selama itu pula penambangan masih dilakukan.
Sebagaimana komitmen negara lain, Indonesia juga concern mengurangi emisi karbon dengan mulai mengembangkan energi terbarukan. Biofuel dengan bahan baku kelapa sawit kini menjadi proyek pemerintah Indonesia yang dikembangkan secara sistematis.
Setelah sukses dengan Biofuel 20 (B-20), kini pemerintah mengembangkan B-30. B-20 artinya 20% Fatty Acid Methyl Ester (FAME), yakni energi dari crude palm oil (CPO), dicampur dengan solar. Tetap saja masih membutuhkan solar yang adalah energi fosil.
Indonesia berkomitmen untuk terus mengurangi energi fosil dan beralih ke energi terbarukan (renewable energy). Selain sawit, biofuel juga berasal dari tanaman lain seperti jarak.
Masuk dalam energi terbarukan adalah energi tenaga air (PLTA), tenaga angin, tenaga gelombang laut, dan energi panas bumi atau geothermal. Disebut energi terbarukan karena energi ini tidak habis dan bisa terus diperbarui. Sawit bisa terus ditanami. Energi terbarukan adalah energi ramah lingkungan.
Pertamina baru saja mengumumkan keberhasilan dalam mengembangkan Diesel-100 (D-100). D-100 adalah sawit yang sudah dibersihkan dari getah dan bau. Selanjutnya, esktrak sawit ini menghasilkan Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) dan kini sudah mencapai 100% energi nabati dengan bahan baku sawit.
Kapan Indonesia tidak lagi tergantung pada energi fosil? Pemerintah belum berani menetapkan target. Karena energi fosil bukan hanya untuk pembangkit listrik, melainkan juga untuk transportasi.
Saat ini, Indonesia, sebagaimana negara maju, mengembangkan energi listrik. Pabrik nikel di Morowali yang heboh itu dikembangkan untuk menyediakan battery bagi mobil listrik.
Listrik di Flores masih sangat tergantung pada pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang menggunakan solar. Di Labuan Bajo sudah dibangun pembangkit listrik tenaga minyak dan gas (PLTMG) tahun 2018. Sejumlah pembangkit listrik panas bumi di Flores masih dibangun.
Untuk bahan bangunan rumah, gedung, dan berbagai infrastruktur, semen masih sangat dibutuhkan. Kebutuhan semen di NTT 1,2 juta setahun. Ke depan, seiring dengan pembangunan, permintaan terhadap semen terus meningkat. Sementara Semen Kupang hanya mampu memasuki 350.000 ton per tahun.