Oleh: Willy Grasias
Opini saya beberapa saat lalu, ramai diperbincangkan di jagat maya. Ada yang mengapresiasi, ada mengkritisi dengan sejuk, tapi ada juga yang cenderung mempersalahkan saya.
Saya tetap pada pendirian bahwa langkah JPIC adalah sebuah tindakan provokasi. JPIC dan para pembelanya boleh saja mengatakan bahwa langkah JPIC adalah sebuah advokasi. Masing-masing pihak silakan berpendapat. Waktu jualah akan membuktikan.
Di era demokrasi, tatkala rakyat kian terdidik, dan teknologi komunikasi sudah menembus batas wilayah, tiada lagi yang bisa disembunyikan. Tidak ada hanky-panky yang bisa ditutup-tutupi. Semua terang-benderang.
Advokasi adalah sebuah tindakan mulia. Karena dalam advokasi ada pencerahaan, pembelaan, dan harapan yang diberikan.
Mencerahkan artinya memberikan pengetahuan, pengertian, dan kesadaran. JPIC adalah pihak yang memberikan pencerahan kepada masyarakat Lengko Lolok dan Luwuk.
Baca Juga: Ini Poin-poin Penting yang Disepakati dalam RUU Minerba
Membela artinya memberikan bantuan kepada pihak yang terancam kehilangan hak, baik hak milik, hak-hak lainnya hingga hak yang paling asasi.
Memberikan harapan artinya warga Lengko Lolok dan Luwuk diberikan gambaran yang masuk akal dan bisa diwujudkan bahwa nasib mereka akan lebih baik. Dalam advokasi, harapan yang diberikan bukan harapan kosong, tapi harapan yang dapat diraih dalam hitungan manusiawi.
Langkah JPIC bisa saja menjadi 100% advokasi jika dua syarat utama terpenuhi
Pertama, JIPC sudah melakukan penelitian tentang batu gamping di Lengko Lolok dan memetakan secara jelas Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK). JIPC memiliki tenaga ahli di bidang geologi yang bersertifikat.
Jika tidak memiliki sendiri tenaga ahli, JPIC sudah menyewa geolog untuk melakukan penelitian di lokasi tambang dan hasil penelitian sudah ada di tangan mereka.
Kedua, pihak yang menolak tambang adalah mayoritas. Bukankah hanya sembilan keluarga. Ini adalah fakta lapangan. Di era keterbukaan ini, siapa saja yang melakukan intimidasi dan melanggar HAM bisa dengan mudah tertangkap mata.
Yang terjadi nun jauh disana, sebanyak 154 keluarga atau 95% masyarakat terdampak menerima tambang batu gamping dan pabrik semen, dan hanya 9 keluarga yang menolak, yaitu 2 keluarga di Lengko Lolok dan 7 keluarga di Luwuk.
HAM ke-9 keluarga silahkan diperjuangkan. Tapi, jangan membuat pernyataan seakan-akan 163 keluarga di Lengko Lolok dan Luwuk menolak tambang dan pabrik semen. Ini adalah tindakan manipulatif, intimidatif, dan provokatif.
Ketiga, rakyat Lengko Lolok dan Luwuk sudah lama hidup miskin. Mayoritas mereka hidup dengan menjual kayu bakar dari lamtoro. Pertanian tidak mengubah nasib mereka.
Baca Juga: UU Baru Minerba: IUP dan IUPK Wajib Reklamasi dan Pascatambang Sukses 100%
Saat ini, ada peluang di depan mata. Mereka mendapatkan uang yang cukup. Mereka tetap mendapatkan rumah yang dibangun perusahaan tambang, lengkap dengan fasum dan fasos.
Dengan uang lebih, mereka bisa membuka usaha dan membeli tanah lagi. Uang yang mereka dapat adalah daya ungkit yang membuat mereka bisa tinggalkan kubangan kemiskinan. Sebagian besar mereka pun masih memiliki lahan di desanya.
Harapan apa yang dijanjikan JPIC kepada warga Lengko Lolok dan Luwuk? Rakyat dan pemerintah lebih paham cara untuk menaikkan taraf hidup.
Saya kurang paham ketika JPIC memilih lokasi pertemuan dengan sejumlah keluarga penolak tambang, bukan di Lengko Lolok atau Luwuk. Apakah JPIC ditolak di dua kampung itu? Kalau ditolak, mengapa mereka menolak?
Sangat tidak pantas jika JPIC mempersalahkan ke-154 keluarga yang setuju tambang. Sikap a priori bukanlah sikap yang sesuai nilai Kristiani.
Datanglah ke Lengko Lolok dan Luwuk. Dengar aspirasi mereka secara objektif. Silahkan memberikan pandangan dan mengadvokasi mereka, tapi jangan memaksa mereka. Karena mereka punya kewenangan untuk menentukan masa depan mereka.