oleh

Kekerasan Terhadap Anak Perwujudan Agresivitas

Walaupun jumlah warga yang memilih tindak kekerasan sebagai protes terhadap perubahan lingkungan yang kurang menguntungkan itu tidak besar, namun dampaknya sangat luas. Masyarakat yang pada umumnya anti kekerasan, sebagaimana tercermin dalam substansi pendidikan  anak-anak, akhirnya terseret untuk ikut melakukan kekerasan sebagai pilihan untuk menghadapi tantangan ketika cara-cara konvensional tidak efektif lagi.

Gejala tindak kekerasan itu nampaknya merebak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi selama masa pembangunan berorientasi pertumbuhan.Pembangunan yang dititikberatkan pada bidang ekonomi itu telah meningkatkan kegiatan sosial, ekonomi dan politik yang memerlukan dukungan pranata sosial yang menjamin keadilan sosial (social     justice), demokrasi politik (political democracy) dan kebebasan budaya (cultural freedom).

Penerapan tekonologi maju (IT) yang mahal biayanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, telah memperkenalkan nilai-nilai merkantil, materialistik dan kompetitif yang memacu timbulnya persaingan. Akan tetapi persaingan tanpa aturan main yang jelas akhirnya mengembangkan persaingan yang tidak sehat yang merangsang tindak kekerasan (violent conflict). Hanya sejumlah kecil warga masyarakat yang memiliki keunggulan modal, teknologi dan organisasi, yang berhasil menguasai sebagian besar sumber daya untuk mengejar keuntungan materi.

Dengan menggunakan peralatan dan teknologi maju, para pengusaha besar mengolah sumberdaya secara besar-besaran tanpa mengenal batas waktu dan lingkungan geografik sosial dan kebudayaan. Akibatnya dapat mempercepat penyusutan sumber daya dan mutu lingkungan yang akhirnya menimbulkan keterbatasan lingkungan (environmental scarcity).

Keterbatasan lingkungan itu, pada gilirannya memacu masyarakat untuk berlomba-lomba memperebutkannya. Sayangnya pranata sosial yang ada tidak menjamin terjadinya persaingan secara sehat (fair competition). Akibatnya seolah-olah hukum rimba, the survival of the fittest, homo homini lupus, berlaku dalam masyarakat Indonesia umumnya dan NTT khususnya. Tindak kekerasan kembali menjadi model penyelesaian masalah.

Demikian pula halnya, alasan klasik seperti kemiskinan juga menyebabkan kekerasan di rumah tangga (ujung rotan adalah emas). Kemiskinan yang melilit sebagian besar keluarga NTT, sehingga banyak anak-anak dipaksakan untuk bekerja mencari tambahan untuk menutupi kebutuhan ekonomi keluarga, yang sebenarnya mereka masih diberi kesempatan untuk bermain, bercanda, bersosialisasi dengan teman sebayanya di lingkungannya.

Orangtua terpaksa membiarkan anak-anak bekerja di kebun (desa) dan industri (kota) tanpa mengenal jam kerja anak-anak, tanpa menghiraukan usia anak-anak  yang sebenarnya masih belum cukup untuk bekerja.

Upaya penanganan kekerasan terhadap anak tidak bisa hanya lewat jalur hukum. Untuk meminimalisir kekerasan terhadap anak, maka solusi yang ditempu adalah pertama, perlu sosialiasi pendidikan anti kekerasan sejak dini di institusi pendidikan, mulai dari Taman Kanak-Kanak sampai ke Perguruan Tinggi. Sebab tidak jarang kekerasan justeru dilakukan di tempat terhomat ini, misalnya anak-anak dimarahi oleh gurunya, dipelototi, disiksa oleh temannya sendiri (black pedagogy)

Kedua, peran media (elektronik/medsos dan cetak) secara terus menerus melakukan kampanye anti kekerasan. Hindarilah media dari berita atau tayangan yang bersifat kekerasan. Sebab dengan adanya tayangan kekerasan    tersebut justru memicu terjadi perilaku kekerasan dalam diri anak.

Ketiga, masyarakat kita adalah masyarakat religius, karena itu cukup besar pengaruh yang diberikan agama dalam sosialisasi anti kekerasan.

Keempat, perlu dalam keluarga menjaga keharmonisan hubungan antara orang tua dengan anak. Keharmonisan keluarga akan menciptakan suasana yang kondusif dalam rumah tangga, secara otomatis pula dalam keluarga yang harmonis tumbuh kasih sayang, tumbu cinta kasih.

Kelima, kearifan lokal, seperti dongeng ternyata cukup mujarab. Namun yang saya lihat banyak orangtua kelilangan waktu sore harinya, sebab mereka lebih memilih mengisi waktunya menonton televisi, ketimbang mengajak anaknya menceritakan dongeng.

Komentar