Oleh Ben Senang Galus
Kekerasan terhadap anak sudah menjadi hal umum kita baca di media massa atau kita tonton di televisi. Betapa tidak, banyak anak-anak menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga maupun orang lain.
Meningkatnya kekerasan terhadap anak menunjukkan rendahnya tingkat kesadaran anggota keluarga maupun masyarakat dalam pemenuhan hak anak.
Selain itu kurangnya pemahaman anggota keluarga maupun masyarakat terhadap sanksi yang akan diterima jika melakukan kekerasan terhadap anak. Inilah salah satu contoh kasus yang sangat mengerikan dalam hukum kita, yang mana banyak anak-anak menjadi korban tindakan kekerasan, yang membuat orang tua atau masyarakat semakin sempit kasih sayangnya terhadap anak.
Sebagai bukti meningkatnya kekerasan terhadap anak harian Pos Kupang.Com mencata Sejak tahun 2015 sampai tahun 2019 terdapat 536 anak di Sumba Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur menjadi korban kekerasan. Dari 536 kasus tersebut 222 kasus dengan korban pelecehan seksual.
Jika kita bandingkan angka nasional kekerasan terhadap anak juga menunjukkan peningkatan cukup tajam. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas kasus kekerasan terhadap anak, menurut catatan Komnas Anak, selama semester satu 2019 jumlah kasus mencapai 736 kasus, meliputi 44,43 persen kekerasan seksual, 31,66 persen kekerasan fisik, dan 23,99 persen kekerasan psikis serta penelantaran. Sementara periode Januari Juni 2019 tercatat 426 kasus, meliputi 52 persen diantaranya merupakan kasus pencabulan anak, 28,5 persen kekerasan fisik, dan sisanya kekerasan psikis dan penelantaran.
Dari data tersebut di atas tampaknya kekerasan terhadap anak menunjukan prevalensinya cukup tinggi, dan kekerasan tersebut begitu melukai perasaan anak-anak Indonesia. Anak-anak akan menjadi pendedam di kemudian hari dan menjadi calon-calon anggota masyarakat yang kerdil jiwa dan pikirannya, menjadi anak yang takut berkompetisi dengan teman-temannya baik dalam kancah pergaulan nasional maupun internasional. Selain itu akan menjadi bibit subur tumbuhnya kriminalitas di Indonesia.
Perwujudan Agresivitas
Tindak kekerasan itu merupakan perwujudan agresivitas bawaan manusia dalam usahanya mempertahankan keselamatan diri terhadap pemangsa dan mengembangkan kehidupan di muka bumi. Sebaliknya, kekerasan yang dilakukan oleh manusia itu tidak hanya terdorong oleh naluri semata. Dengan lain perkataan, setiap kekerasan yang dilakukan oleh manusia normal itu biasanya dipicu oleh kebutuhan hidup yang dipengaruhi oleh kebudayaan yang dihayatinya sebagai kerangka acuan dalam beradaptasi terhadap lingkungannya dalam arti luas.
Pada mulanya, tindak kekerasan yang dilakukan manusia itu terdorong oleh pemenuhan kebutuhan dasar (basic need), seperti makanan, dan rasa aman. Akan tetapi sejalan dengan perkembangan masyarakat dan kebudayaannya, kebutuhan hidup manusia itupun meningkat dalam jumlah, ragam dan mutunya. Di samping kebutuhan hidup yang mendasar, manusia dihadapkan pada macam-macam kebutuhan sosial (social need) yang secara kategorikal terdiri atas kekuasaan (political power), kekayaan (wealth) dan kehormatan (social prestige).
Sesungguhnya kekerasan itu mencerminkan kondisi sosial dan kebudayaan masyarakat Indonesia pada umumnya dalam menghadapi proses akulturasi yang berlangsung amat pesat dan luas jangkauannya. Walaupun masyarakat Indonesia, sebagaimana halnya dengan masyarakat manusia lainnya, mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan dalam arti luas, akan tetapi perubahan yang berlangsung dalam tempo yang relatif singkat dan menjangkau hampir segenap sektor kehidupan, dapat menyebabkan masyarakat kehilangan akal sehat dalam menghadapinya.
Dalam kondisi demikian, masyarakat dihadapkan pada 3 pilihan, yaitu bekerja keras untuk menanggulangi tantangan, melarikan diri dari kenyataan atau melakukan perlawanan diserta kekerasan. Celakanya hanya sebagian kecil masyarakat yang, karena kepekaannya melihat peluang, mampu menyesuaikan diri dan mengambil manfaat. Sebagian besar warga masyarakat justru cenderung untuk melarikan diri dari kenyataan atau bersikap masa bodoh. Sedang sebagian kecil warga yang tidak mempunyai banyak pilihan justru melakukan dengan kekerasan.
Komentar