Rangkaian proses ini jelas Ahang, penyidikan sudah selesai dengan keluarnya penetapan tersangka terhadap Maksi Ngkeros. Mana bisa proses yang sudah selesai justru diperintahkan dihentikan dengan adanya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Di sini Polisi berpotensi melakukan tindakan yang melampaui wewenangnya dengan menerbitkan SP3 ini.
Polisi Tak Mungkin Berani Menelanjangi Dirinya di Tengah Masyarakat
Ahang menyebutkan, sangat janggal, polisi yang menetapkan Maksimus Ngkeros sebagai Tersangka dan polisi pula yang membatalkan penetapan tersangka.
“Ini seperti kata pepatah jeruk makan jeruk,” ujar Ahang
Jika benar polisi akan menerbitkan SP3 maka polisi menelanjangi dirinya di depan masyarakat bahwa polisi bekerja asal-asalan, tidak cermat dan tidak profesional dalam menetapkankan MN sebagai tersangka.
Penanganan Perkara Sudah Menjadi Wewenang Jaksa
Dengan telah diputuskan Pengadilan tentang sahnya penetapan Tersangka terhadap Maksi Ngkeros, sebut Ahang, maka perkara ini sudah berada di tahap penuntutan sehingga hanya jaksa yang berhak melakukan penghentian penuntutan.
Apalagi sesuai ketentuan UU Pemilu, dalam 5 (lima) hari setelah menerima berkas perkara dari penyidik, Jaksa Penuntut Umum harus sudah melimpahkan berkas perkara ke pengadilan untuk disidangkan. Keputusan untuk menghentikan penuntutan ada di tangan jaksa, bukan di tangan polisi lagi.
Berkas perkara sudah dilimpahkan oleh penyidik ke Jaksa Penuntut Umum pada tanggal 15 November 2024 maka paling lambat tanggal 20 November 2024 Jaksa Penuntut Umum harus sudah melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan untuk disidangkan lebih lanjut.
Ahang juga menyebutkan, Jaksa Penuntut Umum dapat saja menggunakan haknya untuk menetapkan penghentian penuntutan. Tetapi wewenang penghentian penuntutan itu adalah wewenang jaksa dan bukan wewenang polisi lagi.