Dimulai dari Baga, simbol leluhur perempuan, yang dibawa dengan penuh bakti pada tahun 1927, sesuai adat matrilineal masyarakat di sini. Di tahun yang sama, Tere Lengi, tempat musyawarah suku, didirikan di pusat kampung sebagai tempat para tetua menyelesaikan setiap perkara yang terjadi di Nua Wogo. Setahun kemudian, Madu, simbol nenek moyang laki-laki, dipindahkan dengan serangkaian upacara yang meriah, lengkap menandai perjalanan panjang ini.
“Kami hidup di tanah ini dengan kebebasan yang diwariskan,” ujar Yohanes. Tanah ini tidak disewakan, karena diberikan secara sukarela oleh leluhur kami. Namun demikian, menjaga keutuhan rumah-rumah adat ini bukanlah perkara mudah. Alang-alang untuk atap semakin jarang ditemukan, sehingga harus didatangkan dari daerah lain. Bagi Yohanes dan warga lainnya, dukungan pemerintah menjadi harapan untuk menjaga warisan budaya ini tetap lestari.
Seiring waktu, berbagai pihak pun memberi uluran tangan, termasuk PT PLN (Persero), yang memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Mataloko. PLN membantu pemugaran gazebo dan pemasangan meteran listrik untuk mendukung Nua Wogo tetap hidup sebagai destinasi yang membisikkan tradisi Flores bagi siapa pun yang berkunjung.