“untuk apa anggaran 21 miliar itu kalau penananganannya hanya sebatas asumsi, kami tidak menolak protap Covid-19 kalau memang mama saya positif, dan setelah mama dikuburkan kami dilepas begitu saja, tidak ada yang perhatiakan kami, dan tetangga mulai mengatur jarak dengan kami, karena stigma Covid-19 sudah ada pada keluarga kami, lalu siapa yang yang bertanggungjawab” ungkap HR.
Pasca Almarhumah TLJ ditetapkan sebagai PDP, HW mengaku keluarga meminta kepada pihak rumah sakit agar jenasah Ibunya disemayamkan di rumah duka, tetapi tetap mengikuti protokol kesehatan penanganan Covid-19. Awalnya pihak rumah sakit menyanggupi, maka dibuatlah surat kesepakatan.
Namun, keputusan itu tiba-tiba berubah pada saat Ketua Tim Gugus Covid-19 Manggarai, Deno Kamelus beserta tim lainnya tiba di RSUD dr. Ben Mboi Ruteng. Keputusannya bahwa jenasah almarhumah tidak boleh disemayamkan di rumah duka, tetapi langsung dimakamkan dengan mengikuti protap Covid-19.
“pada saat Bupati bersama rombongannya datang, keputusannya langsung berubah, bahwa mama tidak bisa disemayamkan di rumah, tapi langsung dimakamkan sesuai protokol Covid-19, tanpa ada acara adat serta penghormatan terakhir dari kami untuk mama, kami sangat sakit hati,” ujarnya.
Untuk itu Dia berharap kepada Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Kabupaten Manggarai agar SOP penanganan Covid-19 dibenahi. Dan peristiwa yang dialami keluarganya saat ini adalah pertama dan terakhir. Sebab menurutnya stigma lebih sakit karena dijauhi oleh orang-orang sekitar.
Dia juga menegaskan apabila hasil SWAB Ibunya negatif, maka harus ada pemulihan nama baik dari pihak terkait.
Penulis : Silve
Komentar