oleh

Hari Buruh dan Ketar Ketir PHK

Dari sisi kalangan pengusaha, tentu beban menghidupi ribuan buruh juga bukan persoalan yang ringan, dalam situasi perekonomian yang sedang merosot, para pengusaha merasakan nafas yang megap-megap. Omset yang menurun drastis. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah PHK menjadi solusi tepat dalam hal situasi seperti ini? Tidakkah ada cara lain yang bisa menyejukkan kedua belah pihak?

Kelemahan hukum perburuhan di Indonesia terletak pada status hubungan hukum. Di dalam Pasal 56 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Naker), mengatur hubungan hukum buruh terbagi menjadi 2 (dua), yakni perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) atau untuk waktu tidak tertentu (PKWTT). Namun problemnya, status buruh yang bekerja di Indonesia amat jarang sekali didasarkan pada perjanjian, entah itu PKWT atau PKWTT.

Kebanyakan dari mereka hanyalah berstatus buruh harian lepas. Yang secara hak dan kewajiban minim akan jaminan perlindungan dan kepastian hukum. Buruh harian lepas sendiri tidak diatur eksplisit dalam UU Naker. Rentan bagi buruh harian lepas mendapat perlakukan semena-mena dengan hak-hak yang disepelekan. Termasuk lemah secara hukum terhadap jaminan hak-haknya akibat PHK Coronavirus.

Buruh berstatus harian lepas tidak memiliki legal standing yang kuat untuk mengajukan gugatan PHK ke Pengadilan Hubungan Industrial. Berbeda dengan yang berstatus PKWT atau PKWTT. Sangatlah lemah kedudukan hukum bagi buruh harian lepas, mereka kesulitan untuk mengajukan gugatan akibat PHK apabila hak-haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 UU Naker tidak dipenuhi oleh perusahaan. Sehingga seharusnya, PHK bukanlah solusi. No work no pay kiranya bisa lebih membuat buruh merasa lebih lega dibandingkan harus terkena PHK.

Komentar