Soal keterwakilan elit-elit Katolik dalam kekuasaan saat ini, masyarakat mesti bangga dan memberikan apresiasi setinggi-tinngginya. Mereka adalah utusan masyarakat (Katolik) yang memberikan diri untuk memperjuangkan kepentingan umum. Pemikiran-pemikiran mereka tidak diragukan lagi. Namun, pertanyaan penting yang perlu dijawab ialah apakah keterwakilan elit-elit Katolik ini mampu melabrak kekuasaan yang cenderung apatis serentak berpihak kepada yang lemah?
Pertanyaan ini bertolak dari kenyataan bahwa ada segelintir elit Katolik baik nasional maupun lokal yang bermain dalam politik kotor. Ada beberapa pertunjukan yang memperlihatkan ketidakmampuan elit-elit Katolik dalam mengontrol dua tegangan yaitu antara tunduk pada kepentingan umum dan kepentingan diri (baca:golongan). Satu pembacaan yang tidak berlebihan bahwa kecendrungan elit-elit Katolik terlalu loyal dengan kepentingan diri. Seringkali elit-elit Katolik itu dikooptasi oleh kepentingan oligarki, lupa pada mereka yang terpinggirkan.
Padahal masyarakat mengharapakan elit-elit Katolik untuk secara tegas memperlihatkan dirinya sebagai intelektual-intelektual organik yang mampu membangun peradaban politik yang sehat. Bukan saja tinggal dalam menara gading pengetahuan, melainkan juga mendarat dalam kehidupan nyata masyarakat. Maka hendaknya elit-elit Katolik itu dijiwai oleh semangat ke-Katolik-an dalam memperjuangkan keadilan dan kemaslahatan kehidupan masyarakat. Nilai-nilai Katolik seperti integritas, kejujuran, pluralisme, keberpihakan pada yang kecil harus dijunjung tinggi. Nilai-nilai ini mesti diinstitusionalisasi dalam tindakan politik. Dengan demikian, masyarakat ditempatkan sebagai subjek politik.
Karena itu, menurut Spivak elit-elit politik itu mesti memposisikan diri sebagai intelektual yang secara strategis dan sungguh bekerja (Tuhiwai Smith, 2005:100). Mereka perlu membangun paradigma baru yaitu “dari pendekatan epistemologis ke kerangka kerja praksis”. Masyarakat saat ini membutuhkan dialektika dan misi keberpihakan dari elit. Artinya bahwa elit-elit Katolik mesti menyadari dirinya sebagai tangan kanan Yesus dalam membangun dunia. Gaya politik Yesus selalu mengedepankan solidaritas dengan kaum terpinggirkan. Agar terbukti keterlibatan otentik dengan lemah dan terpinggirkan, elit-elit Katolik mesti meruntuhkan oposisi biner antara “kita” dan “mereka”.
Ada upaya keterlibatan otentik dengan menanggalkan prasangka-prasangka epistemologis, rasisme, dan berbagai identitas, lalu masuk dalam pengalaman-pengalaman hidup masyarakat. Menurut Antonio Gramsci, elit Katolik perlu membangun kesadaran diri sebagai intelektual organik yang mampu “menyelam” ke dasar-dasar kehidupan masyarakat. Misalnya, salah satu elit Katolik nasional yang cukup mendapat perhatian kita dalam catatan sejarah ialah I. J. Kasimo. Perhatian dan muara perjuannganya ialah kaum lemah. Karena itu, politik mesti dimengerti sebagai panggilan suci serentak medium humanisasi dan deliberasi (Budi Kleden, 2012: 226).
Proses deliberasi ini akan menyempitkan jarak antara elit politik Katolik dengan masyarakat yang terpinggirkan. Keterlibatan aktif elit-elit Katolik akan berdampak pada kebijakan-kebijakan yang diluncurkan. Paus Benediktus XVI dalam ensikliknya Deus Caritas Est sangat menekankkan tugas sentral politik dalam membangun tatanan kehidupan yang adil. Ia mengharapkan sebuah kerja nyata dari negara dalam memberantas ketidakadilan, kemiskinan dan berbagai ketimpangan sosil-kemasyarakatan dengan meruntuhkan stuktur-sturktur penyebab. Dengan demikian, pembangunan-pembangunan itu bersifat humanis dan mampu memberdayakan masyarakat. Hanya dengan kemampuan “turun ke bawah” dan mengidentifikasi diri sebagai kaum tertindas, elit-elit Katolik dengan mudah menyalurkan kue pembangunan yang tepat sasar.
Komentar