oleh

Dramaturgi Politik Menuju Pemilukada

Sebagaimana drama, politik tidak lain merupakan panggung sandiwara, tempat banyak aktor bermain. Dalam politik seorang aktor akan beramin di panggung depan dan belakang sekaligus. Kadang-kadang panggung depan tidak selalu menggambarkan panggung belakang. Muatan politik pencitraan panggung depan sangat kuat. Demikian juga panggung belakang yang penuh dengan intrik dan skenario politik. Peran aktor politik di panggung depan selalu ditentukan oleh orang-orang di balik layar.

Memang panggung politik selalu menghendaki setiap aktor untuk berkamuflase. Seringkali orang membangun cerita dan citra dengan gaya bahasa yang indah. Jalannya cerita selalu di-setting sedemikian rupa dalam semangat konspirasi. Dalam kaitan pilkada serentak, ada banyak rekayasa yang ditampilkan panggung depan. Berbagai pembanguan, proyek mangkrak, kerusakan lingkungan, jalan rusak, irigasi yang tidak pernah selesai, tidak akan ditampilkan pada panggung depan. Panggung politik selalu diisi dan dihiasai oleh bermacam-macam “prestasi”. Kegagalan seringkali di-crop demi meningkatkan elektabilitas dan keterpilihan.

Padahal, masyarakat menginginkan antara panggung depan dan panggung belakang selalu tampil secara otentik. Jangan ada dusta antara elit dan masyarakat. Jangan ada konspirasi yang kurang sehat antara tampilan depan dan belakang. Politik itu selalu berurusan dengan kebaikan bersama. Politik menghendaki agar setiap elit tampil secara otentik. Dan politik menurut  Aristoteles dimaknai sebagai medan yang agung. Disebut agung karena kedudukannya yang mulia, merangkum seluruh aspek kehidupan  manusia (Riyanto, 2011:36).

Pelajaran untuk Masyarakat

Maka, jelang pemilukada sebaiknya masyarakat membuat skenario politik untuk lawan elit yang gagal dalam pemerintahan. Kini saatnya kesadaran kritis itu tumbuh dalam rangka menghindari persilangan kepentingan di tingkat elit. Setiap visi-misi itu diverifikasi dan diuji dalam ruang dialektika. Kita berharap visi-misi itu menyentuh kebutuhan masyarakat. Di samping itu, masyarakat perlu merefleksikan birokrasi dan pembangunan yang telah lewat sebagai kriteria normatif dalam pilkada mendatang.  Eric Voegelin menekankan sikap reflektif itu selalu berintegrasi dalam sejarah manusia (Ibid., 2011:40). Sikap reflektif ini sangat penting dalam menentukan pemimpin politik. Untuk itu, hemat saya membaca politik jelang pemilukada harus dilihat dari sisi sejarah elit politik.

Pemilukada adalah jembatan sekaligus ajang untuk penentuan sejarah baru. Nasib rakyat selalu ditentukan oleh figur politik yang duduk dalam tampuk kekuasaan. Untuk mendapatkan figur yang bijaksana, pilihan rasional-kritis menjadi kriteria utama. Hindari diri dari kontaminasi rekayasa panggung depan sambil melihat secara jeli aktor-aktor di belakang panggung. Rekam jejak elit politik mesti diketahui secara baik. Kadang-kadang panggung depan mengelabui mata dan pikiran.

Komentar