Oleh : Rikardus Yonogas Goa
Tulisan ini berangkat dari temuan penulis selama melakukan beberapa riset bersama lembaga Change’O terkait pertanyaan warga desa bagaimana jika dana DeMAM dikelola oleh BUM-Desa. Sehingga jelas bahwa runutan tulisan lebih kepada bagaimana mengarahkan masyarakat, pada pengelolaan kedua program inovasi ini bisa mendatangkan peluang dalam mengelolahnya.
Pertama, kita perlu brainstorming ulang terkait apa itu Dana DeMAM dan dan BUM-Desa. Dana DeMAM (Desa/Kelurahan Mandiri Anggur Merah) adalah program unggulan Gubernur Frans Lebu Raya pada masa kepemimpinannya. Bertepatan dengan ulang tahun propinsi NTT di 20 Desember 2010 program pemberdayaan ekonomi masyarakat desa ini dikucurkan.
Budget yang digelontorkan Pemprov tidak sedikit, tahun 2011 dialokasikan Rp. 81,2 miliar untuk 287 desa penerima manfaat dari total desa di NTT saat itu berjumlah 2.837 desa. Alokasi atau jatah tiap desa pun sama yaitu 250 juta. Hingga tahun 2017 total desa yang menerima danam DeMAM adalah 3.250 desa dan total dana yang dikucurkan sebesar 812,50 Milliyar. Pengelontoran dana Pemprov ini tidak sedikit dan semata-mata hanya untuk mendongkrak perekonomian masyarakat desa.
Mekanisme pemberian dana dilakukan adalah (pendekatan kelompok masyarakat) community base group. Sehingga tepat jika masyarakat NTT familiar menyebut program ini adalah Koperasi Anggur Merah. Sebab misi yang dibawah dari penyaluran dana ini adalah menjadikan NTT sebagai provinsi penggerak Koperasi.
Kedua, terkait BUM-Desa masyarakat desa pasti tau apa itu BUM-Desa atau BUMDES bisa juga. BUM-Desa sendiri lahir sejak diundangkannya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah daerah pasal 213 ayat (1) disebutkan bahwa “ Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa dan potensi desa” dan juga tercantum dalam PP No. 71 tahun 2005 tentang desa. Sehingga keliru kalau kita menyebut istilah BUM-Desa lahir setalah UU Desa. Namun, perbedaan sebenarnya itu terletak pada penyertaan modal.
Pasca UU Desa walaupun desa dapat mendirikan BUM-Desa tidak disertai dengan modal desa. Namun BUM-Desa sekarang lahir atas prakarsa desa dan juga penyertaan modal dari desa. Di dalam UU No.6/2014 terdapat 4 pasal yang menjelaskan bagaimana standing position BUM-Desa. Secara ringkas BUM-Desa sendiri diartikan sebagai badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh desa melalui penyertaan modal secara langsung berasal dari kekayaan desa guna mengelolah aset atau potensi desa demi tercapainya kesejahteraan Masyarakat desa.
Beda Prinsip
Jika kita menoleh ke belakang terkait program ini, tidak aple to aple membandingkan keduanya. Sebab seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa DeMAM adalah program ekonomi berbasis kelompok masyarakat dalam satu desa sedangkan BUM-Desa adalah milik desa dan semua warga bisa merasakan hasil usaha BUM-Desa dalam bentuk PADes. Sedangkan, DeMAM hanya dirasakan oleh anggota kelompok saja dalam bentuk SHU. Hingga bisa kita temukan irisan pertama soal perbedaan kedua hal diatas.
BUM-Desa dalam pendirianya diinisiasi oleh pemerintah desa dan kemudian merekrut masyarakat desa untuk bergabung sebagai pengelolah BUMDesa. Prospek bisnis juga ditelusuri sesuai dengan potensi desa dan tidak akan berakibat pada mematikan usaha ekonomi lokal desa. Atau lebih tepatnya tidak menjadi kompetitor baru dalam usah perekonomian desa. Sedangkan DeMAM diinisiasi pembentukannya oleh kepala desa dengan acuan bahwa ketika kelompok sudah ada di desa maka diajukan ke kabupaten untuk diajukan pencairan dana DeMAM.
Hal lain yang mebedakan DeMAM dengan BUM-Desa adalah Program Anggur Merah murni melaksanakan pola usaha koperasi sedangkan BUM-Desa bisa menjalankan usaha bisnis sosial (serving), bisnis uang (banking), Bisnis Penyewaan (Renting), lembaga Perantara (Brokering), Trading (bisnis Perdagangan), Usaha Bersama (Holding).
Dapat diambil kesimpulan Bahwa Program DeMAM yang berlaku di Masyarakat adalah, bantuan dana dari provinsi yang diberikan kepada desa dengan harapan, dapat memberdayakan masyarakat desa melalui kelompok masyarakat sebagai patron dan berbentuk koperasi.
Sedangkan BUM-Desa adalah jenis usaha di desa atas amanat UU desa untuk memberdayakan masyarakat desa melalui pola usaha Serving, Banking, Renting, Brokering, trading dan Holding dan bisa mendatangkan Pendapatan Asli Desa (PADes).
Pola Kolaborasi
Dana Anggur Merah diberhentikan semenjak awal tahun 2017. Akan tetapi uang provinsi yang masih bergulir di desa ini tidak jelas soal keberadaannya. Diasumsikan demikian dikarenakan belum ada aturan pemprov yang menjelaskan terkait uang 250 juta ke desa apakah menjadi milik desa atau milik kelompok yang menjalankan usaha DeMAM. Namun, asusmsi penulis disini adalah dana 250 Juta yang diberikan Pemprov ke Desa dudah menjadi milik desa. Karena atas surat keabsahan pemerintah desa maka dicairkan dana anggur Merah untuk kelompok penerima di desa. Sehingga dalam hal ini pemerintah desa menjadi poin kunci dalam mengelolah Dana DeMAM atau Anggur Merah.
Lalu dengan kehadiran BUM-Desa apakah memungkinkan kedua program ini dapat berkolaborasi?. Terkait persoalan ini Penulis dapat mengatakan ‘bisa’ kenapa tidak.
Kita perlu menyepakati bahwa pola kolaborasi dapat menciptakan daya ungkit bagi semua pihak. Sehingga persepsi yang kita bangun adalah Program DeMAM atau Anggur Merah adalah koperasi dan BUM-Desa lahir belakangan sebelum Koperasi. Hal ini berakibat pada BUM-Desa belajar dari kesalahan-kesalahan yang sudah dilakukan koperasi ketika menjalan usaha Banking, sedangkan koperasi lahir dari jatuhnya berulang kali dan datang dengan kapasitas kewirausahaan dan manajemen yang baik dari pengalaman bertahun-tahun.
Antispasi penulis disini adalah supaya tidak akan terjadi peluang kompetisi antara BUM-desa dengan Koperasi (DeMAM). Alih-alih berkompetisi toh pasarnya sama yaitu desa. Sehingga penulis mengarahkan pada beberapa kerjasama yang tentunya mendatangkan peluang yang sama.
Pertama, usaha yang dijalankan DeMAM tidak perlu lagi dijalankan BUM-Desa misalnya DeMAM menjalankan usaha banking atau simpan pinjam maka BUM-Desa diharapkan bisa melakukan Sharing Budget dengan harapan DeMAM bisa lebih lebih profesional, transparan dan akuntabel dikarenakan dilindungi oleh BUMDes dari praktik sesat koperasi yang banyak berkembang di masyarakat. Adalah rahasia umum bahwa citra koperasi terpuruk karena praktik rentenir berkedok koperasi.
Kedua, jaringan kerja BUMDes akan meluas dan transnasional. Hal itu karena gerakan koperasi memiliki wadah gerakan koperasi internasional, International Cooperative Alliance (ICA), yang efektif di tiap regional. Holding BUMDes sebagai perusahaan sosial dapat ajukan keanggotaan khusus, misalnya di ICA Asia Pacific. Sehingga peluang bersaing semakin kecil dan tidak ada dikarenakan kerjasama terjalin dan mungkin menjadi masalah bersama yang dihadapi keduanya adalah terjadi swastanisasi atau kapitalisasi elit desa. Disini kerjasama akan diukur soal solid dan tidaknya DeMAM dan BUM-Desa memerangi hal itu.
Ketiga, Pemerintah desa dituntut untuk pro aktif dalam melihat pola kedua program ini melalui hal real dengan memunculkan peraturan desa (perdes) yang mengatur keberadaan DeMAM dan Kerja samanya dengan BUM-Desa. Sehingga dapat diyakini tidak ada penonton atau orang pasif dalam melihat berkembangnya desa di 10 atau 20 tahun mendatang.
Sebagai penutup, pemerintah provinsi NTT dalam hal ini perlu mengambil langkah tegas dalam bentuk pergub atau Perda Provinsi terkait keberadaan program Anggur Merah semenjak sudah diberhentikan 2017 lalu sehingga tidak terjadi keributan desa antara pemerintah dan pengelolah dana anggur merah atau kelompok pelaksana program Anggur Merah. Salam Berdesa
Penulis adalah sekertaris Pada Lembaga Change Operator Manggarai
Komentar