oleh

Camelia, Cinta di Patahku Yang Dalam

Oleh : Venancya K. Mangkut, S.Pd

“Apalah mati itu ?

Apa pula hidup itu ?
Jika di keduanya kau tetaplah nafasku ?”

****
Harusnya hari itu dia tak perlu ada di tengah antrian yang panjang , seharusnya dia tak perlu menyimpan kecemasannya sedemikian dalam. Andai di dua tahun lalu, andai waktu bisa diajak kembali ke masa lalu, dia tak perlu sungguh ada di sana untuk gelisah dalam kesakitan, dan begitu menyedihkan dalam kesendiriaannya.
Hampir setiap detiknya, dia memperhatikan wajah mungil di dekapannya, wajah yang tak menyimpan kemiripan dengan siapapun dalam hidupnya, tidak juga dirinya. Terkadang dia bersyukur untuk itu. Tak perlu anak itu mirip dengan siapapun, juga tak perlu menjadi milik siapapun selain dirinya dan Tuhan saja.

Camelia. Begitu nama anak yang sejak berbentuk gumpalan darah telah diajaknya menangis bersama dan berbagi airmata. Meski tak banyak tahu sebab pendidikannya memang tidaklah tinggi, namun sedikitnya dia paham bila itu memang tak pernah baik bagi pertumbuhan Camelia di rahimnya.
Camelia adalah keputusasaan, kehancuran sekaligus ketegarannya untuk menghadapi dunia yang memang tidak selalu bermuka manis. Camelia adalah beban hidup yang lambat-lambat menjadi nyanyian syukurnya, meski di batasnya sebagai manusia dia ingin berkompromi dengan waktu agar andai bisa dia tak akan mau menjerumuskan dirinya ke dalam cinta yang salah di mata siapapun, di matanya juga, selepas dia bangun dari khilafnya yang panjang.

****
Dia mengulang dalam ingatannya. Di kamar petak yang tak banyak perabotannya, cinta melebur dalam dekapan dua anak manusia yang tanpa malu-malu menjadi satu untuk satu sama lain. Dekapan yang menjadi keputusan sang segala di atas sana untuk sebuah hidup bernama Camelia. Hanya sayangnya cinta meminta sebuah tanggung jawab yang hingga hari itu adalah pikulan untuknya sendiri. Cinta yang lelap di dekapannya bukanlah cinta yang biasa. Cinta itu telah memiliki rumahnya untuk pulang. Cinta yang sekedar datang karena lelah yang sebentar, lalu pergi. Menghilang tanpa kabar lagi. Gelora itu selesai. Riuh gemuruh mengalahkan guruh di langit usai sudah. Mencari sisanya adalah kesiasiaan karena ke manapun dia pergi hanya bayang-bayang ilusi.

Camelia datang begitu pagi, mengejutkannya. Membuka ruang baginya sendiri untuk caci maki datang dan pergi setiap hari. Keputusasaannya membawa kakinya pulang kembali dan memutuskan untuk tak lagi melanjutkan pekerjaannya sebagai penjaga kantin di ibukota kabupaten itu.
Di gerbang desa, dia dijemput oleh murka ibunya yang sudah terlanjur meluap, mengutuk, dan meminta Tuhan mengambilnya segera adalah kata yang tak pernah dibayangkannya keluar dari mulut wanita dengan hati yang maha luas untuk ampunan itu. Namun kecewa memang telah banyak mengambil ruang di hatinya. Ayahnya juga tanpa ampun merenggut seluruh kenangan yang disimpannya di setiap sudut rumah, membakarnya tepat di depan matanya. Dia tahu itu pertanda bila dari kehidupan keluarganya, dari hati ke dua orang tuannya, dari langit dan bumi di kampungnya, dia telah terbuang begitu jauh. Dia pergi menemui dunianya yang kini hanya ada dia dan Camelia. Sampai saat ini dan selamanya tetap begitu.

****
Dia kembali ke ibukota, tempat di mana dia memulai kepahitan hidupnya kemarin. Dia bekerja di sebuah toko roti dan mengontrak sebuah kamar kecil yang pemiliknya istri seorang pensiunan TNI yang telah lama menjanda. Wanita tua itu sangat tekun berdoa dan seorang pendengar yang setia. Di pangkuannya ada sebagian duka ditelanjanginya tanpa malu-malu, namun ada yang masih tetap disimpannya untuk dirinya sendiri. Hanya wanita tua itu yang berkenan mengangapnya sebagai manusia , karena dia sendiripun tahu dia memang tidak lebih baik dari seekor binatang jalang.
Suatu malam , ketika listrik padam , dia melihat kehidupannya sendiri.

Gelap dan menjijikkan untuk diteruskan. Dalam khayalannya , Camelia sibuk memikul beban yang sengaja diletakkannya pada bahu gadis kecil itu. Camelia jatuh lalu berdiri lagi di antara dua kakinya yang berwarna darah.Dia akan mewariskan duka di hidup Camelia. Dia wanita tanpa guna bahkan untuk buah hatinya sendiri.
Semua baginya adalah kegelapan , kepalanya bak dihantam palu yang maha besar, matanya seperti sedang mengalirkan tetesan air yang sangat banyak . Darah dan airmata. Dia menangis kesakitan. Daging di pergelangan tangan disayatnya membentuk luka yang dalam. Hingga setahun kemudian atau seterusnya luka itu memang mengering tetapi tidak dengan bekasnya.

Luka tak mengering dengan sendirinya, duka tetap selalu tinggal.
Cinta terkadang bukan apa-apa , namun dia juga kadang adalah segalanya.
Dia bisa menjadi obat paling baik untuk luka paling dalam sekalipun.”

Serasa dia telah tidur begitu lama , ketika dibukanya matanya berlahan , dia melihat wanita tua , pemilik kamar petak tempatnya mengontrak duduk sembari mulutnya berkomat-kamit. Tangannya memegang bulir-bulir rosario berwarna cokelat. Wanita itu tentu sedang mendoakannya, mendoakan Camelia juga tentunya. Rindunya pada sang ibu bertalu-talu memukul hatinya.

Ke manakah doa ibunya dibawa angin ? Apakah telah sampai kepada Tuhan ? Doa ataukah kutukan ? “Ibu terlalu baik untuk mampu mengutuk ” katanya membatin.

****
Camelia lahir enam bulan setelah malam itu , di Desember dengan hujan yang basahkan tanah. Di antara sukacita orang-orang menyambut natal . Camelia lahir dengan tangisnya yang menyayat hatinya sendiri. Nama Camelia diambilnya dari nama seorang wanita yang ada pada sebuah lagu. Dia lupa penyanyinya tetapi ingat berapa penggal liriknya yang mungkin disusun tak sempurna oleh ingatnya , setidaknya seperti ini

“Camelia , maafkanlah aku !
Jangan pernah lagi ungkit masa lalu.
Kau , wanita terhebat yang pernah singgah di hatiku .
Sudahlah jangan menangis lagi , kurasa cukup sampai di sini.

Baginya penggalan selirik dua lirik lagu itu adalah doa untuk Camelianya. Camelia datang bukan tanpa masa lalu, tetapi jangan untuk ditanyakan , sebab diapun tak lagi menyimpan jawabannya. Camelia datang dari masa lalunya tetapi bukan hina kisahnya sebab apapun akan dipertaruhkannya untuk Camelia bahkan meski harus menukar dengan hidupnya sendiri. Camelia tak akan menangis, pantang baginya jatuhkan airmata. Dia yang akan mengajari Camelia berdiri di atas caci maki. Camelia akan menjadi karang yang tak mau kikis oleh air laut. Camelia akan dibuatnya lupa dari mana dia memulai hidupnya .

Camelia adalah alasan dia tidak perlu menunggu matahari atau bintang dan bulan untuk melihat dunia itu indah. Camelia adalah seluruh nafasnya , di hidup maupun matinya.

****
Ketika berusia delapan bulan , Camelia hampir tiga kali dalam sebulan selalu harus berhadapan dengan jarum suntik dan obat-obatan. Dia tak mengeluh untuk sepeserpun yang habis demi Camelia. Hanya hatinya seolah disayat ribuan sembilu manakal anaknya menangois menahan kesakitan. Camelia memang harus dibiasakan dengan rasa sakit karena dunia tak akan berlaku ramah pada mereka berdua.
Seperti malam itu dia harus membawa Camelia kembali ke dokter anak yang jaraknya lima kilometer dari tempat tinggalnya. Mengendarai sepeda motor milik tetangganya memang bukan pilihan yang paling baik untuk Camelia , tetapi Camelia harus sembuh demi untuk hidupnya .

Malam itu menjadi malam panjang untuknya sebab menurut dokter anak yang biasa ditemuinya itu , Camelia harus dibawa ke rumah sakit . Di benaknya , Camelia sedang menahan sakit yang tidak biasa. Keadaan itu membuatnya merasa darah di nadinya membeku , Camelia jangan sudahi kita , sayang !
Sesampainya di rumah sakit , Camelia ditangani oleh seorang dokter lelaki dan beberapa orang perawat terlihat membantunya dengan cekatan. Malam merangkak dalam bayangan merenggut siapapun yang dia mau. Tangisan Camelia tak pernah berhenti barang sebentar, badannya hangat sedang tangan dan kakinya dingin, nampak pada tangannya terlihat bintik-bintik atau ruam-ruam. Gelisah hatinya saat itu. Tuhan satu-satunya tempat dia meminta segalanya tanpa malu-malu.

“Siapa berkuasa melawan hidup?
Siapa berkuasa kendalikan segalanya ?
Bila hidup hanya untuk sebentar, mengapa datang Camelia?”

Hujan pagi itu mengguyur kota dengan derasnya. Camelia menyerah pada hidupnya . Dia memilih pergi . Dia tak lagi menemani wanita yang hatinya paling patah itu. Dia pergi membawa seluruh cerita hidupnya yang akan dikisahkannya pada para malaikat di surga sana.
Meningitis. Dokter menjelaskan dengan panjang lebar. Baginya itu tak lagi berarti sama sekali. Camelianya toh telah pergi. Lorong panjang yang dilewatinya saat membawa Camelia pulang adalah jalan menuju kematian . Kembali hatinya meragukan Dia yang tersembunyi di atas sana .

“Bukankah aku tak permah meminta apapun lagi untuk hidupku selain hidup Camelia untukku, Tuhan?”

Mulutnya diam. Hatinya hancur. Jiwanya hilang. Raganya remuk. Daging di tulangnya sekan telah luruh . Came;lia menutup kisahnya dengan sangat pedih, tanpa niat sedikitpun memberi isyarat. Semestapun begitu. Tak ada firasat untuk kepergiannya yang begitu pagi hingga dia tak sempat bersiapsiap. Perlukah bersiap-siap? Sedangkan kehilangan kadang datang seperti pencuri.

Inikah doa ibunya ? inikah kutukan itu ? Tidak! Ibunya adalah malaikat yang sempat kecewa, tetapi doanya masih terasa di hati meski sesekali .

****
Lonceng gereja bertalu-talu . Malam ini Tuhan datang , dan Camelia taka da di sini. Sudah dua belas hari berlalu, tetapi rasanya seperti baru kemarin. Meringkuk dia di sudut kamarnya , tanpa cahaya. Lagu-lagu natal dari rumah tetangganya seperti sedang berlomba-lomba, di tengah keramaian dia adalah kesendirian paling sepi. Elegi patah hatinya adalah Camelia.
Tubuhnya kian hari kian menyusut. Cahanya di matanya seakan meredup. Pagi dan malam baginya sama saja, hidup dan mati juga barangkali begitu. Keputusasaanya untuk bersahabat dengan Tuhan membuatnya memutuskan diri untuk tak perlu hadir di tengah gegap gempita orang berbahagia sebab di dunia ini dia bukan salah satunya.

Undangan Tuhan untuk mereka yang tidak patah hatinya. Lonceng gereja sekali lagi bertalu. Akan dibunyikan lagi berapa menit setelahnya. Baginya itu bukan untuknya,. Tuhan terlalu sampai hati atas hidupnya. Tiga jam dia lalu bergelut dengan sesak dan kesalnya, lalu dia memtuskan keluar dari kamarnya. Tertinggal misa ke dua di beberapa gereja di kota itu. Namun dia menepi , berjalan sekehendak kakinya pergi. Rinai hujan jatuh mengenai rambut dan jaketnya, Dia tak peduli sedikitpun.

Sedikit terkejut sebab kakinya telah membawanya masuk ke sebuah kapela kecil di pinggiran kota. Sebuah kapela sederhana dengan nyala lampu meriahkannya. Dia masuk. Undangan Tuhan – begitu dia menamai orang-orang yang hadir di sana- semua tak seperti dirinya. Dari mata mereka ada pancaran bahagia, tak seperti dirinya. Dia memilih tempat paling belakang. Di depan pun Tuhan tak melihatnya. Dia berlutut tetapi tidak berdoa. Apa yang mau didoakannya, Kesepian selalu jadi miliknya.

Homili dibawakan dengan singkat oeh seorang pastor tua dengan wajahnya yang begitu berkharisma , kata-katanya seolah berdaya magic, mengenai luka hatinya.

Kali ini, Yesus datang untuk hati yang patah. Untuk cinta yang hilang. Untuk jiwa yang gersang. Dia datang untuk membasuh luka-luka yang susah sembuh, Dia penghiburan paling sejati. Apalagi yang takutkan saudara – saudaraku ? Hidup memang sakit, tetapi Yesus obatnya. Dia surat cinta Tuhan untuk hidup kita, mintalah apapun untuk hidupmu. Malam ini Dia tinggal lama di hatimu”.

Airmatanya jatuh. Untuk Camelia , cintanya. Selepas homili , dia sibuk menulis ini dalam hatinya :

“Camelia , mengapa datang untuk sebentar saja? Mengapa pulang menyisakan lara hingga sekarang? Apakah ini yang paling baik untuk kita ?

Apalah mati itu, apa pula hidup itu , jika di keduanya kau adalah nayawaku. Bawa seluruh patahku , sayang. Ceritakan pada Tuhan tentang aku yang tak baik padamu. Ceritakan kesepianku pada Tuhan. Masih bolehkah kau datang lagi ? sebentar saja , sayang. Hanya untuk kuucapkan damai natal. Lupakan semua salahku yang membuatmu sakit. Aku mencintaimu, luka hatiku yang abadi,. Camelia, dari tempatmu berada kini, doakan aku !”

Teruntuk , Papa di surga

Penulis adalah Guru SDK Ruteng V, Manggarai Flores

Komentar