oleh

Asas Fictie Hukum dan Dilema Keadilan Masyarakat Pedesaan

1. Seorang pengendara motor diberhentikan dan dikenakan sanksi oleh polisi di tengah perjalanan menuju kantornya karena tidak menyalakan lampu utama pada siang hari. Pengendara tersebut mengaku tidak mengetahui adanya peraturan yang mewajibkan menyalakan lampu utama pada siang hari. Dengan mendasari pada Fiksi Hukum, tentu saja pengendara motor tersebut tetap dikenakan sanksi karena tidak menyalakan lampu utama pada siang hari yaitu pidana kurungan paling lama 15 (lima belas) hari atau denda paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) berdasarkan Pasal 293 ayat (2) Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).

2. Kasus pencemaran nama baik melalui media sosial dengan memberikan komentar “Comment” pada unggahan seseorang yang mengandung unsur pencemaran nama baik dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) berdasarkan Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

3. Contoh sederhanaya lagi seperti kasus hukum yang dialami oleh Nenek Minah yang dihukum karena mencuri 3 buah kakao di kebun Milik PT tempat dia bekerja. Kemudian juga ada guru yang ditahan karena mencubit muridnya di sekolah.

Dari contoh kasus hukum diatas tentu pada dasarnya bahwa para pelaku tidak tahu kalau perbuatan-perbuatan tersebut dilarang oleh undang-undang dan bagi pelanggarnya akan mendapatkan hukuman atau sanksi. Fiksi hukum sejatinya membawa konsekwensi bagi Pemerintah. Setiap aparat pemerintah berkewajiban menyampaikan adanya hukum atau peraturan tertentu kepada masyarakat. Kalau masyarakat melanggar hukum lantas diseret ke pengadilan padahal ia benar-benar tak tahu hukum, aparat penyelenggara negara juga mestinya ikut merasa bersalah. Namun prakteknya dalam keadaan ketidaktahuan hukum ditengah masyarakat tidaklah menjadi suatu alasan untuk tidak dituntut,dalam hal ini Negara telah berlindung dibalik asa fictie hukum.

Perlu kita ketahui bahawa hukum yang berlaku di Indonesia hari ini merupakan hukum hasil adopsi hukum Belanda termasuk penerapan asas-asas hukum didalamnya. Asas fictie hukum yang diberlakukan Belanda di Indonesia pada saat penjajahannya merupakan upaya paksa dari Negara penjajah tersebut untuk menguasai Indonesia. Dalam bidang keperdataan Belanda menerapkan asas domein verklaring yang artinya bahwa “tanah masyarakat yang tidak dapat dibuktikan dengan surat maka secara otomatis tanah tersebut akan menjadi milik pemerintah (Belanda).

Jelas pada saat itu tanah milik masyarakat masih melekat sistem hak milik menurut hukum adat masing-masing daerah yang mana tidak adat bukti tertulis atau bukti surat. Tujuan diberlakukannya asas tersebut oleh Belanda adalah untuk menguasai tanah masyarakat yang selanjutnya untuk usaha perkebunan Belanda di Indonessia.

Sebagai sebuah asas yang dianggap taken for granted dari sistem hukum Indonesia kolonial (Hindia-Belanda), fiksi hukum seyogyanya ditinjau kembali. Implementasinya di negara kesatuan dengan berjuta-juta pulau seperti Indonesia sudah semestinya segera ditelaah secara kritis. Sebagai sebuah instrumen kebijakan, hukum harus memenuhi tiga segi demi efektivitas pengimplementasiannya.

Pertama, filosofis. Hukum yang diterapkan mesti berada dalam koridor cita hukum (rechtsidee) negara, yakni Pancasila. Pancasila mesti menjadi norma dasar (grundnorm) yang melandasi segala norma yuridis negara. Esensi Pancasila yang terdiri atas ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial mesti bisa diekstraksi-formulasikan ke norma-norma kehidupan

Komentar