Oleh : Kunto Wisnu Aji, SH
Praktisi Hukum
Biasanya, menginjak tanggal 1 Mei sorak sorai para buruh dan serikat buruh bersatu padu turun di jalanan. Aksi tersebut semata-mata agar eksistensi dan hak-hak buruh senantiasa dipandang. Bahwa buruh juga selaku pihak yang berpengaruh dalam bergulirnya roda perekonomian. Namun, kondisi saat ini, membuat aksi-aksi persatuan dari para buruh tampak nihil.
Coronavirus telah membuat status dari buruh beralih menjadi pengangguran. Dalam guyonan bahasa jawa, para buruh yang ter-PHK menamai dirinya berstatus ODP (Ora Duwe Penghasilan/tidak punya penghasilan). Ketika perekonomian sedang merosot, nasib kesejahteraan buruh pun ketar-ketir di ujung tanduk.
Ketar-ketir itu hadir di kala banyak perusahaan yang menghentikan sementara produksinya. Seolah nasib buruh tak menentu. Penghentian itu berdampak pada eksistensi para buruh yang ter-PHK. Pandemi Coronavirus semakin menjadi-jadi seiring Pemerintah Pusat melalui Presiden menetapkan Kepres No. 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Coronavirus. Dampaknya dapat dikategorikan sebagai effect domino yang mewabah dalam sendi-sendi kehidupan, tidak hanya soal darurat kesehatan dan darurat ekonomi, namun juga melebatnya darurat PHK.
Kelamahan Hukum Perburuhan
Tidak dipungkiri adanya PHK besar-besaran dimungkinkan membawa konsekuensi hukum di kemudian hari. Hak buruh untuk melakukan upaya hukum gara-gara diPHK diakomodir dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Hubungan Industrial. Sengketa perselisihan PHK menjadi salah satu objek yang dapat bermuara ke Pengadilan Hubungan Industrial. Bisa jadi setelah, atau bahkan saat masih dalam situasi Coronavirus ini sangat dimungkinkan terjadi gugatan oleh buruh yang terkena PHK.
Komentar