Sejarah Ketidakadilan ekologis sebagai buah dari minimnya pendidikan lingkungan
Tanggal 2 Mei ditetapkan sebagai hari pendidikan nasional yang dirayakan oleh Bangsa Indonesia dengan satu harapan bahwa pendidikan di Indonesia semakin berkembang dan memeberikan dampak positif di setiap aspek kehidupan. Sejarah panjang berdirinya Indonesia tentunya menyisakan butiran-butiran sejarah perjuangan bangsa dalam memajukan pendidikan di Indonesia. Sejak Zaman penjajahan hingga reformasi, upaya mengembangkan pendidikan di Indonesia menyimpan cerita sejarah yang berbeda-beda.
Sejarah Belanda sampai Jepang dipahami sebagai alur penjelasan kalau pendidikan digunakan sebagai alat komoditas oleh penguasa. Pendidikan dibuat dan diajarkan untuk melatih orang-orang menjadi tenaga kerja yang murah. Runtutan penjajahan Belanda dan Jepang menjadikan pendidikan sebagai senjata ampuh untuk menempatkan penduduk sebagai pendukung biaya untuk perang melalui berbagai sumber pendapatan pihak penjajah. Pendidikan pula yang akan dikembangkan untuk membangun negara Indonesia setelah merdeka.
Setelah kemerdekaan, sejarah mencatat bahwa kebangkitan di dunia pendidikan mulai dibenahi. Badan pekerja KNIP pada saat itu mengusulkan kepada kementrian pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan (PP dan K) supaya cepat untuk menyediakan dan mengusahakan pembaharuan pendidikan dan pengajaran sesuai dengan rencana pokok usaha pendidikan. Kemudian, pemerintah mengadakan program pemberantasan buta huruf. Program buta huruf tidak mudah dilaksanakan dengan berbagai keterbatasan sumber daya, kendala gedung sekolah dan guru. Kementrian PP dan K juga mengadakan usaha menambah guru melalui kursus selama dua tahun. Kursus bahasa Jawa, bahasa Inggris, ilmu bumi, dan ilmu pasti.
Namun, Kemerdekaan Indonesia tidak membuat nasib orang tidak mampu terutama dari sektor pertanian menjadi lebih baik. Pemaksaan atau perintah halus gampang muncul kembali, contoh yang paling terkenal dengan akibat yang hampir serupa seperti cara-cara dan Praktek pada jaman Jepang, bimas gotong royong yang diadakan pada tahun 1968-1969 disebut bimas gotong royong karena merupakan usaha gotong royong antara pemerintah dan swasta (asing dan nasional) untuk menyelenggarakan intensifikasi pertanian dengan menggunakan metode Bimas (Fakih, 2002:277, Mubyarto, 1987:37). Adapun tujuannya adalah untuk meningkatkan produksi beras dalam waktu sesingkat mungkin dengan mengenalkan bibit padi unggul baru yaitu Peta Baru (PB) 5 dan PB 8.37. Pada jaman penjajahan Belanda juga pernah dilakukan cultuurstelsel, Jepang memaksakan penanaman bibit dari Taiwan. Jadi, rakyat dipaksakan mengikuti kemauan dari pihak penguasa. Cara tersebut kurang lebih sama dengan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai cara untuk menghasilkan panen yang lebih maksimal. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, Muller (1979:73) menemukan yang dilakukan di Indonesia bahwa sebagian besar masyarakat yang masih hidup dalam kemiskinan, paling-paling hanya bisa memenuhi kebutuhan hidup yang paling minim, dan hampir tidak bisa beradaptasi aktif sedangkan golongan atas hidup dalam kemewahan.
Pendidikan pada masa Belanda, Jepang dan setelah kemerdekaan sulit dicapai oleh orang-orang dari rumah tangga kurang mampu. Mereka diajarkan dan diberi pengetahuan untuk kepentingan pihak penguasa. Mereka dijadikan tenaga kerja yang diandalkan untuk mencapai keuntungan yang maksimal. Masyarakat disiapkan untuk menjadi mesin-mesin dalam pemenuhan kebutuhan penguasa, Setelah jaman kemerdekaan, rakyat dari rumah tangga kurang mampu terus menjadi sumber pemaksaan secara halus untuk pengembangan bibit padi unggul. Pendidikan sebagai alat penguasa untuk mengembangkan program yang dianggap dapat mendukung peningkatan pemasukan pemerintah. Lagi-lagi mindset pengembangan pendidikan hanya berfokus pada kebutuhan penguasa yang mana rakyat didoktrin dengan pendidikan yang kemudian memuluskan kepentingan sekelompok orang. Yang miskin semakin miskin, yang kaya semakin Berjaya.
Temuan WALHI NTT tentang Ketidakadilan Ekologi akibat minimnya pendidikan lingkungan
Kebijakan Pendidikan berdampak hampir ke seluruh sektor pembangunan dalam masyarakat, termasuk sektor pengelolaan lingkungan. Keberlanjutan lingkungan dan keadilan ekologis dapat terwujud apabila didukung oleh pola pelaksanaan pendidikan yang berwawasan lingkungan. WALHI mengamati, bahwa Sejak ilmu pengetahuan dan teknologi berhasil mendorong perkembangan kehidupan manusia, Selain ketimpangan yang dirasakan oleh masyarakat sebagaimana yang terjadi sejak zaman penjajahan, orientasi perilaku hidup manusia pun menjadi begitu antroposentris. Manusia diposisikan begitu sentral sehingga sikap dan perilakunya menjadi semena-mena (merusak) terhadap alam dan potensi sumber dayanya. Oleh Karena itu perlu ada formula yang cocok dalam pengembangan pendidikan terutama dalam upaya peningkatan keadilan ekologis dan keberlanjutan lingkungan.
Adapun temuan WALHI NTT terkait Ketidakadilan ekologi dan lemahnya aspek keberlanjutan lingkungan yang terjadi pada masyarakat sebagai buah dari minimnya pendidikan ekologi. Ketimpangan pembangunan sebagaimana yang terjadi pada masa awal kemerdekaan menjadi satu warisan bagi pemerintah sekarang dengan dampaknya menimbulkan ketimpangan bagi orang kecil dan menguntungkan pengusaha dan penguasa. Temuan-Temuan itu sebagai berikut:
Komentar