Oleh, Epin Solanta
Terpilihnya Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melahirkan beragam komentar di publik. Reaksi spontan tersebut tidak hanya karena usia Nadiem yang masih muda (35 Tahun), tetapi karena latar belakangnya yang bukan sebagai praktisi atau pun ahli dalam dunia pendidikan. Nadiem, seperti yang kita kenal adalah seorang pengusaha, CEO Gojek. Di tengah beragam komentar di permukaan media sosial atau ruang diskusi warung kopi, muncul berbagai istilah yang berusaha menyatukan pendidikan dengan usaha Nadiem sebelumnya, seperti membayar uang sekolah menggunakan Go-Pay, membersihkan sekolah melalui Go-Clean, mengambil buku yang tertinggal di sekolah melalui Go-Send dan masih banyak meme yang lainnya. Meme tersebut sepintas terkesan lucu, tetapi sebenarnya memiliki pesan penting yang perlu kita refleksikan terutama menyatukan konsep pendidikan dengan revolusi digital atau sering disebut industri 4.0.
Menarik ketika alam pikiran kita terpaksa dibawa ke ruang diskusi yang menyajikan menu digitalisasi pendidikan, sebagaimana yang menjadi karakteristik kuat dari era 4.0. Titik ketertarikannya itu, bukan pada banyaknya menu yang disajikan dalam konsep pendidikan modern, tetapi lebih kepada infrastruktur dasar yang membuat menu tersebut bisa menjadi lezat dikonsumsi oleh seluruh anak bangsa dari Sabang sampai Papua. Pendidikan di daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal) perlu menjadi perhatian di tengah harapan yang membuncah yang lahir dari para elite di pusat akan hadirnya kualitas pendidikan yang maju yang berbasis pada teknologi digital.
Pendidikan itu: Dari Sabang sampai Papua
Kualitas pendidikan di Indonesia per hari ini tidak bisa digeneralisasi baik. Hal ini dikarenakan tingkat kompleksitas persoalan dalam tubuh pendidikan, yang tersebar dari Sabang sampai Papua. Jika kita memetakan persoalan tersebut, setidaknya ada beberapa hal yang santer disuarakan ke publik: infrastruktur pendidikan yang tidak merata, akses pendidikan yang masih sulit, kulitas tenaga pendidik yang belum memadai, serta gaji guru yang sangat rendah.
Meningkatnya beragam persoalan pendidikan di Indonesia per hari ini, terutama pada titik-titik tertentu merupakan implikasi dari adanya dikotomi tentang pendidikan di Jawa dan di luar Jawa (atau yang lebih dikenal daerah 3T). Dikotomi ini melahirkan kebijakan yang sifatnya terpusat, dimana berbagai macam kebijakan selalu dilihat dan diteropong dari kaca mata pusat. Dalam konsep pengambilan kebijakan, pendekatan ini akan menjadi problematis. Hal yang ideal adalah, melakukan kajian secara komprehensif, membuat pemetaan pada setiap titik, lalu kemudian (bersama-sama) memberikan solusinya.
Konsep Digitalisasi Pendidikan di Daerah 3T
Futurolog Alvin Toffler dalam karyanya yang berjudul The Third Wave melukiskan tentang sejarah peradaban manusia yang terbagi dalam tiga gelombang yaitu masyarakat agraris, masyarakat industri dan masyarakat informasi. Persis pada gelombang ketiga ini kita berada di mana informasi telah menjadi salah satu kebutuhan pokok dalam hidup. Kebutuhan informasi ini kemudian didukung oleh hadirnya infrastruktur teknologi yang tidak hanya memudahkan setiap orang dalam berkomunikasi tetapi juga dalam mengakses pengetahuan.
Mengadaptasi model pendidikan dengan karakteristik industri 4.0. sepertinya menjadi salah satu misi Jokowi, yang tentu saja didukung oleh kehadiran sosok progresif seperti Nadiem Makarim yang begitu piawai membaca masa depan. Misi penyatuan itu sudah mulai nyata pada titik-titik tertentu terutama pada daerah yang dikategorikan sudah maju dimana bangunan infrastruktur pendidikannya sangat kuat.
Pertanyaannya adalah bagaimana dengan konteks pendidikan di daerah 3T? Mungkinkan ini akan terjadi atau adakah persoalan yang lebih serius dan mendesak? Konsep digitalisasi dalam pendidikan tentu saja menjadi suatu keharusan dan mutlak diperlukan. Tetapi untuk sampai ke sana, harus ada upaya komprehensif dan integratif untuk mempersempit jurang kualitas dan kuantitas sarana dan sumber daya pendidikan di kota-kota besar dan daerah 3T.
Oleh karena itu, ada beberapa poin yang mestinya menjadi perhatian dalam misi pemerintahan Jokowi yang berhubungan dengan kualitas pendidikan di Indonesia.
Pertama, meningkatkan kualitas infrastruktur dasar pendidikan di daerah 3T. Infrastruktur dasar tersebut berupa jalan raya yang memudahkan peserta didik mengakses sekolah, gedung sekolah yang layak untuk dijadikan tempat belajar, fasilitas pendukung seperti perpustakaan, laboratorium komputer serta jaringan listrik dan internet.
Kedua, upaya peningkatan kompetensi pendidik melalui pelatihan secara terpadu dan berkesinambungan. Penyebaran guru yang merata dan dibekali dengan kapasitas yang baik akan berimplikasi pada peningkatan kualitas proses dan hasil pendidikan.
Ketiga, meningkatkan gaji guru dan berbagai macam fasilitas penunjang kebutuhan primer. Ini adalah persoalan mendasar yang dikeluhkan oleh para guru di daerah 3T.
Ketiga poin di atas dalam pandangan penulis menjadi kunci pokok untuk bisa melahirkan wajah pendidikan di daerah 3T yang sesuai dengan harapan rezim. Artinya, konsep digitalisasi pendidikan dengan sendirinya akan tumbuh dan berkembang secara baik jika sudah disiapkan ruang dan iklim yang nyaman untuk memungkinkannya bertumbuh dan berkembang.
Epin Solanta, Inisiator Lembaga Visi Indonesia Pintar
Komentar