oleh

Birokrasi Penyangga Kapitalisme

Oleh: Ben Senang  Galus

Mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa dalam arti yang sempurna adalah suatu yang tidak mungkin kita capai. Karena kesempurnaan  yang hakiki hanyalah milik sang pencipta. Namun upaya  kearah itu harus terus kita lakukan  untuk menciptakan kondisi yang lebih baik dalam rangka menyelaraskan tuntutan dan kebutuhan pembangunan.

Bagaimanapun hebatnya metode dan pendekatan yang dipergunakan mengkaji upaya  mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean government) dan berwibawa, adalah tak mungkin konkrit, karena selalu berhadapan dengan masalah mentalitas feodal yang masih melekat dalam tubuh birokrasi sebagai warisan masa lalu.

Walaupun aparat birokrasi kita sudah banyak mengenyam pendidikan, tapi tingkah lakunya tidak seluruhnya menggambarkan cara hidup rasional dan professional dalam tugas pemerintahan. Mereka sering mencampuradukkan lingkungan birokrasi (public sphere) dengan lingkungan pribadi (personal sphere). Inilah yang menyebabkan birokrasi kita dianggap sebagai sumber keburukan dan penyebab penyakit rutin.

Birokrasi kita memang mengenal disiplin kerja keras dan tradisi memupuk kekayaan. Tradisi ini menurut Prof Sartono Kartodirdjo disebutnya sebagai kebudayaan handarbeni, yakni kebudayaan yang menganggap  bahwa segala yang ada di wilayah kewenangan identik dengan miliknya. Hak sebagai pejabat ditafsirkan seolah-olah kekuasaan yang dipegang dan wilayah yang menjadi tanggungannya menjadi hak milik pejabat yang bersangkutan.

Sikap seperti di atas masih terlihat pada sebagian para birokrat kita.
Merebaknya tradisi memupuk kekayaan ini (baca: korupsi) dalam birokrasi, mengakibatkan rusaknya sistem birokrasi, melampaui batas-batas kewajaran yang dapat dilihat pada semakin merusaknya sistem perekonomian di Indonesia, karena, birokrasi kita terperangkap dalam moral yang diciptakannya sendiri, yakni mentalitas korup(si).

Mentalitas korup mendorong tumbuhnya semangat Kapitalistis dalam tubuh birokrasi.  Begitu kuatnya semangat Kapitalistis diinjeksikan dalam tubuh birokrasi sehingga keseimbangan psikologis tergoncang ketika norma-norma kapitalis menjadi sebuah pilihan yang ideal.

Penyangga kapitalisme

Birokrasi memang tidak berdiri sendiri. Ia sangat terkait dengan berbagai kepentingan pihak-pihak dominan, terutama para pemegang kekuasaan politik dan kekuasaan modal. Sehingga muncul sinyalemen dalam masyarakat bahwa birokrasi di Indonesia merupakan sebuah mesin politik yang tidak netral dan tak mungkin netral.

Mesin politik ini kadang-kadang mencerminkan nilai serta norma yang jauh dari rasional. Jelasnya : tidak obyektif, tidak a politis. Hal demikian terutama dalam keterkaitannya dengan kepentingan kapital dalam birokrasi, telah bisa kita saksikan sejak tahun 1970-an. Sejak tahun ini, bersamaan dengan tegaknya pilar ideologi pembangunanisme (developmentalism) yang dibawa oleh pemerintahan Orde Baru, birokrasi kita mulai kehilangan rohnya sebagai satu pilar utama pembangunan kesejahteraan yang memiliki visi kemanusiaan.

Di bawah payung pembangunanisme itulah birokrasi kita hingga sekarang saat situasi neoliberalisme tegak berdiri, birokrasi kita hanya menjadi penyangga kapitalisme. Apa yang disebut dengan birokrasi model kapitalis birokrat mungkin tepat untuk memberikan label pada birokrasi yang tidak murni ini. Pola hubungan birokrasi harus selalu menyesuaikan dengan proses kapitalis atau politik penguasa. Dengan demikian, birokrasi selalu diarahkan pada kepentingan – kepentingan dagang atau politik, bukan lagi kepentingan kesejahteraan manusia sebagaimana misi sejatinya.

Di bawah tekanan kekuasaan politik dan kekuasaan modal inilah para birokrat kemudian hanya bisa menjadi mesin-mesin industri  yang harus tunduk dan patuh pada kepentingan pragmatis. Ini berarti pembangunan birokrasi di Indonesia telah dengan sengaja membangun sistem birokrasi yang memberi peluang sebanyak – banyaknya untuk melakukan tindakan permisif terhadap korupsi. Hal ini bisa jadi karena sistem birokrasi  Indonesia sangat lemah, sehingga membuka peluang terciptanya kapitalis birokrat yang secara diametral bertentangan dengan karakteristik birokrasi itu, yakni sebagai teladan bagi masyarakat.

Paradigma berpikir birokrasi saat ini sedang mengalami penetrasi dari kebudayaan kapitalis yang cenderung agresif, yang membawa perubahan gaya hidup dadakan  pada kaum birokrat. Gaya hidup dadakan  itu tercermin dalam budaya hidup semula kencangkan ikat pinggang (hidup sederhana), diganti dengan budaya kapitalis serba mewah.  Kapitalisasi birokrasi memberi peluang sebesar – besarnya bagi  kaum birokrat untuk memanfaatkan institusi birokrasi sebagai lahan subur  korupsi.

Sebab mereka terlalu yakin, bahwa peradaban kapitalis yang rasional sebagai yang paling ideal sehingga tanpa reserve, dan secara serentak meninggalkan budaya asli birokrasi yakni hidup sederhana. Ini berarti birokrasi kita tidak akan pernah sembuh dari penyakit kronis korupsi, karena dianggap paling menyenangkan dan mengasikkan. Maka pada kuadran ini lapisan dalam birokrasi kita yakni  ethico-mythical nucleus yang merupakan central point of reference, telah mengalami kematian: seperti moral, peradaban, dan etika.

Mengapa birokrasi kita bermentalitas kapitalis? Hal ini sebenarnya mudah kita jawab. Sebab ada mitos dalam masyarakat, yaitu, pejabat birokasi harus kaya, memiliki rumah mewah, kendaraan mewah, gemuk dan perut gendut. Sebaliknya jika ada pejabat birokasi yang miskin atau kurus, itu artinya pejabat tersebut telah gagal mengelola birokrasi atau jabatannya. Maka menjadi pejabat birokrasi identik harus kaya. Pandangan masyarakat inilah yang membuat pejabat birokrasi kita di tanah air, merasa aman, dan senang karena mendapat dukungan moril dari masyarakat. Sehingga pejabat birokrasi selalu berupaya bagaimana caranya memanfaatkan institusinya untuk dijadikan sebagai lembaga perbaikan ekonomi atau nasib. Sehingga ketika pensiun tidak bermasalah dengan keuangan maupun materi.

Kita Akarkan
Pertanyaan yang paling mendasar menuju birokrasi bersih dan berwibawa itu dari serangkaian fenomena di atas, adalah bentuk budaya yang bagaimana  birokrasi itu akan kita akarkan, karena pengakaran budaya birokrasi itu akan menandai jati diri  dan budaya birokrasi yang bersih dan berwibawa. Pada hematnya, jati diri dan budaya birokrasi yang bersih harus di akarkan dari nilai-nilai moralitas: dari orientasi mentalitas kapitalis ke orientasi egalitarian dan demokratis; dari kurang percaya kepada masyarakat menjadi kepercayaan yang tinggi pada masyarakat, dari budaya KKN ke budaya bersih yang diaktualisasikan dengan perubahan birokrasi secara simultan.

Ini tidak lain mengisyaratkan agar pembinaan nilai-nilai budaya bersih dalam birokrasi sebagai proses yang berlanjut memang harus secara sadar dan penuh kesadaran dikerjakan, dan terus menerus menjadi bagian perjuangan birokrasi. Selain hal itu, tiga cara berikut mungkin bisa dijadikan rujukan, pertama, upaya meningkatkan produktivitas birokrasi (pegawai negeri)  melalui penerapan merit system dan reward system. Antara lain misalnya,

Pertama kepada birokrat yang tinggi produktivitasnya perlu diberikan imbalan berupa kenaikan pangkat atau hadiah berupa materi. Begitu pula sebaliknya jika birokrat yang malas, kurang produktif harus diberikan sanksi berupa penundaan kenaikan pangkat dan sanksi administrasi. Walaupun ide ini pernah dilontarkan sebelumnya, namun dirasakan sangat perlu untuk tetap dipertahankan dan menjadi rujukan untuk menekan laju angka korupsi.

Kedua,  merubah orientasi peran birokrasi yang tadinya lebih berat sebagai pelaku pembangunan secara berangsur-angsur perlu dikurangi dan melimpahkannya kepada masyarakat. Namun, masalahnya adalah peran ini tidak berfungsi, karena birokrasi merasa tidak diuntungkan.

Ketiga, meningkatkan kapabilitas birokrat dalam bidang administrasi melalui pendidikan dan pelatihan sebagai nilai tambah dalam memperkaya serta mematangkan keahlian dan kualitas birokrat seperti misalnya menyangkut keterampilan sosial yang bisa digunakan untuk mengimbangi keterampilan teknis, sebab kemajuan tidak seimbang antara kemajuan teknis dan keterampilan sosial akan berakibat malapetaka bagi masyarakat. Keterampilan sosial  dibutuhkan untuk memecahkan beraneka ragam masalah sosial yang timbul dalam masyarakat yang berada dalam masa transisi.

Namun, tidaklah dapat diingkari bahwa globalisasi telah menumbuhkan momentum nilai-nilai perubahan dan pergeseran birokrasi kearah birokrasi modern, yang berwatak kapitalis. Sebab globalisasi telah membuka cakrawala yang lebih lebar atas pilihan-pilihan yang bisa diambil terhadap hampir semua hal dan membuka peluang bagi birokrasi untuk memilih mana yang baik dan mana yang jelek.

Tumbuhnya birokrasi modern akan sejajar dengan tumbuhnya masyarakat madani, sehingga  birokrasi Indonesia mendatang akan tetap nampak bersih, berwibawa, serta beradab,  melalui upaya-upaya pembinaan yang terencana dan sistematis. Untuk mewujudkan hal itu, maka birokrasi Indonesia masa depan harus diakarkan di atas nilai-nilai kejujuran, kesederhanaan, kepekaan, empati, produktivitas, inovatif, serta menjadi garda depan penegakan hukum, etika dan moral, serta penanaman kesadaran pengembangan etos kerja.

Pokoknya, pengakaran kembali budaya birokrasi yang berwatak Indonesia di atas nilai-nilai yang telah disebutkan tadi secara arif dan penuh kesadaran serta menempatkan martabat birokrasi sebagai rohnya, niscaya birokrasi kita tidak akan kehilangan muka di mata publik. Bertolak dari budaya birokrasi berwatak Indonesia tersebut kita dapat membangun konvergensi ( bergaul dengan tatanan birokrasi dunia), sehingga mampu menggapai birokrasi modern, sebagai bagian  komunitas budaya birokrasi dunia  yang kita cita-citakan. Oleh karena itu,  harapan kita kepada para birokrat agar kembali menekankan pentingnya kesejahteraan orang banyak, sebagai proses memajukan rakyat agar bangsa ini bisa membuktikan bahwa Indonesia masih ada.

Ben Senang  Galus, penulis buku, tinggal di Yogyakarta.

Komentar