oleh

Festival Wai Humba VIII : Ruang Konsolidasi Kebudayaan Masyarakat

Pagelaran Festival Wai Humba ke-VIII yang berlangsung di Desa Kananggar, Kecamatan Paberiwai, Kabupaten Sumba Timur selama tiga hari yang dimulai pada tanggal 18-20 Oktober 2019. Dengan mengusung tema besar Nda Humba Lila Mohu Akama ( bukan Sumba yang menuju kemusnahan) dan sub tema Tau Raka Tau, Mai Ta Padjulu (Manusia sepantasnya manusia, Mari kita bermain).

Sejak dulu kala, nenek moyang Orang Humba sangat menghormati leluhur dan sang pencipta alam semesta. Salah satunya dengan melakukan persembahyangan di pusat-pusat sumber daya air. Dalam bahasa Humba Kambera disebut Kalarat Wai; atau Pa Erri Wee dalam bahasa Humba Wewewa. Kalarat Wai atau Pa Erri Wee merupakan aktivitas religius aliran kepercayaan Marapu (Agama Asli Orang Humba).

Hingga kini, aktivitas tersebut masih sering dilakukan oleh orang-orang tua di kampung yang masih beragama Marapu. Aktivitas ini selain merupakan ibadah ucapan syukur juga sekaligus ibadah permohonan kepada pencipta, agar senantiasa melimpahkan karunia air buat orang Humba. Tidak boleh ada aktivitas manusia dalam hal pengrusakan, khususnya di kawasan-kawasan mata air tempat persembahyangan.

Gunung Wanggameti, Tana Daru, Yawilla, Porunombu merupakan 4 (empat)  kawasan utama di Pulau Sumba (baca: Humba) yang berfungsi sebagai penyuplai kehidupan ekonomi, sosial budaya hingga kesehatan bagi rakyat Humba. Keempat kawasan ini telah “dikeramatkan” sejak nenek moyang Humba mulai menjajaki Tanah Humba sebagai tempat diam bagi suku-suku yang datang dari segala macam penjuru.

Wanggameti dalam terjemahan bahasa Indonesia berarti Menghalau Kematian. Menghalau kematian dalam cakupan pemahaman orang Humba bahwa Wanggameti memberi Air, Pangan, Tanaman Obat-obatan, kayu kepada manusia sehingga manusia dapat bertahan hidup selama mungkin. Secara geografis, Gunung Wanggameti terletak di Sumba Timur, Tana Daru di  Sumba Tengah dan Sumba Barat, Yawilla di Sumba Barat Daya dan Porunombu di Sumba Barat.

Refleksi dan Aksi
Humba sesungguhnya identik dengan air. Ini terbukti dengan semua daerah utama di Humba yang telah menjadi ibu kota kabupaten, semuanya menggunakan Wai atau Wee (Air) sebagai nama. Sumba Timur dengan Waingapu, Sumba Barat dengan Waikabubak, Sumba Tengah dengan Waibakul, Sumba Barat Daya dengan Weetebula (kini berubah jadi Tambolaka). Namun belakangan air sebagai entitas peradaban budaya seolah terlupakan dalam pembangunan di Humba.

Pembangunan telah banyak merusak peradaban budaya Humba yang identik dengan air. Pembangunan mulai merusak kawasan tiga gunung yang merupakan penyuplai air terbesar di pulau ini. Festival ini juga sekaligus festival yang tidak bisa dilepaskan dari keberhasilan warga Sumba dalam menolak investasi pertambangan emas oleh perusahan asing di kawasan –  kawasan hulu air di Sumba.

Festival empat Gunung “WAI HUMBA” adalah jembatan alternatif baru untuk mendekatkan kembali manusia dengan Sang Pencipta dan alam sekitarnya (baca: air). Festival ini sesungguhnya terinspirasi dari Kalarat Wai atau Pa Erri Wee ala nenek moyang. Kegiatan ini merupakan salah satu upaya untuk melestarikan budaya Humba, dalam konteks pelestarian dan perlindungan alam dari pengrusakan yang serampangan. Festival ini juga dibuat sebagai kesempatan untuk mengucap syukur kepada Pencipta dan berterimakasih kepada leluhur yang telah menanamkan kearifan alam.

Festival ini adalah yang kedelapan kali setelah sebelumnya yang pertama di tanggal 29 Oktober 2012 silam di Sungai Paponggu di kawasan pegunungan Tana Daru, Sumba Tengah; yang kedua di lereng gunung Yawilla, tepatnya di Umma Pande, Desa Dikira Kabupaten Sumba Barat Daya. Ketiga di Desa Ramuk, Sumba Timur, Keempat di Paponggu, Tanadaru, Sumba Tengah dan yang kelima di Kadahang, Haharu, Sumba Timur, Keenam di Porunombu, Ketujuh di Yawilla. Kali ini Wanggameti ( Kampung Kananggar, Paberiwai) sebagai tuan rumah. Festival ini juga dikemas sebagai ibadah, pesta rakyat dan sebagai kampanye pelestarian lingkungan hidup di Humba/Sumba.

Festifal Humba dan Pelestarian Kebudayaan  Lokal
Festival WAI HUMBA landasan utamanya adalah refleksi Ke-Humba-an. Festival ini bukan festival wisata melainkan sebuah ruang konsolidasi kebudayaan masyarakat se Pulau Sumba. Arus pembangunan moderen saat ini merupakan tantangan tersendiri bagi kita untuk mempertahankan kebudayaan kita yang humanistik, ramah lingkungan serta berketuhanan.  Acapkali kebudayaan hanya dianggap sebagai aset pariwisata bukan dilihat sebagai “kedirian”. Dimana kita berbudaya karena memang seharusnya demikian sebagai identitas kultural kita. Bukan agar disukai wisatawan atau untuk sekadar menghadirkan nominal tertentu.

Tantangan lain yakni lahirnya mental pengkotak – kotakan berdasarkan daerah administrasi. Saat ini seringkali kita mendengar dengan mudahnya ada yang berkata, “ kau kan orang Sumba Tengah, kau kan orang Sumba Barat, Orang Sumba Timur, Orang Sumba Barat Daya buat apa kau disini !”. kita lupa bahwa sesungguhnya kita berasal dari komunalitas nenek moyang yang sama yakni apa yang kami sebut dengan Komunalitas Humba/Hubba. Harapannya, Festival ini sekiranya mampu menghilangkan sekat egoisme daerah administrasi  tersebut terutama untuk generasi muda.

Berikutnya kekayaan pangan lokal kita. Arus pangan global telah membikin pangan lokal mulai kehilangan peminat bahkan oleh orang Sumba sendiri. Ragam pangan lokal dari jenis sayuran, kacang kacangan hingga umbi-umbian tergerus oleh kebiasaan konsumsi baru seperti Mie instan dan nasi. Padahal pangan lokal adalah tanaman yang paling adaptif dengan kondisi di Sumba sehingga mudah untuk dibudidayakan. Data Bank Indonesia 2016 menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan impor sektor konsumsi NTT mencapai 82 persen.

Angka ini paling tinggi untuk seluruh propinsi di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa di NTT secara umum dan Sumba secara khusus memiliki tingkat ketergantungan pangan yang tinggi dari daerah lain atau negara lain. Kondisi ini membahayakan keselamatan rakyat karena kemandirian dan ketahanan pangan praktis sangat minim di daerah ini. Ditengah perubahan iklim  yang kian signifikan, potensi kelaparan akan selalu mengintai daerah kita.

Ambil contoh, saat ini bila kapal laut pengangkut pangan tidak bisa berlayar ke Sumba, harga harga kebutuhan pokok menjadi melambung tinggi.  Festival ini untuk mengajak kita kembali memperkuat kemandirian sektor pangan kita di pulau Sumba. Oleh karena itu, festival ini selalu menyuguhkan pangan lokal untuk konsumsi selama festival berlangsung.

Festival Wai Humba dan Olah Raga dan Permainan Tradisional
Permainan tradisional Humba yang kaya akan nilai nilai moral dan pergaulan sosial, juga mulai kehilangan peminat terutama di kalangan anak –  anak. Hal ini akibat dari meningkatnya minat masyarakat sekarang pada permainan – permainan online. Fenomena ini tentu akan mengancam kelestarian permainan tradisional serta sekaligus memusnahkan karya – karya intelektual masyarakat di kampung.

Permainan tradisional seperti permainan maka, Pata Lima, Motu dan yang lainnya seperti tenggalam dan hilang begitu saja. Di sisi lain olahraga dan permainan impor justru merajai kehidupan kita sehari hari. Hal ini tentu mengundang keprihatianan. Komunitas peduli martabat tanah Sumba ( KMPTS Wai Humba), menangkap kegelisahan warga warga kampung dan berinisitif untuk merekam ulang serta berkomitmen untuk, menjadikan permainan tradisional Sumba, sebagai ajang olimpiade olahraga tradisional dalam WAI HUMBA kali ini. Harapannya akan muncul kesadaran kembali serta pemerintah mau untuk mereplikasinya.

Siska Wiliam

Komentar