Oleh: Ben Senang Galus
Dalam Ensklik Laudato Si’, Paus Fransiskus Pada tahun 1971, menulis “delapan tahun setelah Pacem in Terris, Paus Paulus VI berbicara tentang masalah ekologi sebagai “akibat tragis” dari aktivitas manusia yang tak terkendali. Karena eksploitasi alam yang sembarangan, manusia mengambil risiko merusak alam dan pada gilirannya menjadi korban degradasi ini.
Kemungkinan bencana ekologis sebagai akibat peradaban industri, dan menekankan kebutuhan mendesak akan perubahan radikal dalam perilaku umat manusia, karena kemajuan ilmiah yang sangat luar biasa, kemampuan teknis yang sangat menakjubkan, pertumbuhan ekonomi yang sangat mencengangkan, bila tidak disertai dengan perkembangan sosial dan moral yang otentik, akhirnya akan berbalik melawan manusia”.
Kita bahkan berpikir bahwa kitalah pemilik dan penguasanya yang berhak untuk menjarahnya. Kekerasan yang ada dalam hati kita yang terluka oleh dosa, tercermin dalam gejala-gejala penyakit yang kita lihat pada tanah, air, udara dan pada semua bentuk kehidupan.
Oleh karena itu bumi, terbebani dan hancur, termasuk kaum miskin yang paling ditinggalkan dan dilecehkan oleh kita. Ia “mengeluh dalam rasa sakit bersalin” (Roma 8:22). Kita lupa bahwa kita sendiri dibentuk dari debu tanah (Kejadian 2:7); tubuh kita tersusun dari partikel-partikel bumi, kita menghirup udaranya dan dihidupkan serta disegarkan oleh airnya.
Dua tahun lalu lembaga think tank strategis Jerman Department Future Analysis pada Bundeswehr Transformation Center, merilis hasil riset tentang perkiraan krisis ekonomi politik dunia akibat “peak oil”. Cadangan minyak dunia melampaui titik baliknya dan perlahan produksi minyak merosot.
Kondisi ini berpotensi memicu krisis suplai minyak dunia, gejolak pasar komoditas, dan saham global. Ada pula kekhawatiran dampak “peak oil” terhadap keamanan dan survival demokrasi kira-kira 15-30 tahun akan datang. Kajian itu dirilis tepat dua tahun ketika krisis keuangan global dengan episentrumnya di Amerika Serikat (AS) mengimbas ke tata ekonomi global. Lalu anak dan cucu kita menikmati apa?
Mahalnya Biaya Demokrasi
Krisis ekologi, krisis ekonomi, dan krisis-krisis lainnya tidak berdiri sendiri. Semuanya itu tidak dapat tidak karena mahalnya biaya demokrasi sebagai sebab kemungkinan. Demokrasi membutuhkan biaya besar. Karena membutuhkan biaya besar, mau tidak mau harus mengkapitalisasi alam.
Pendek kata demokrasi kita saat ini adalah demokrasi kapitalisme fosil.
Krisis ekonomi saat ini bersumber dari energi berbahan bakar fosil alias demokrasi fosil. Menurut hasil riset Göran Therborn, dalam Cities of Power (1997) melukiskan bahwa “democracy is viable only because of the elasticity and expansive capacity of capitalism.”
Menurut Therborn, ada korelasi kuat antara akumulasi kapital dan survival demokrasi, antara stagnasi ekonomi dan kegagalan demokrasi atau antara level pertumbuhan ekonomi suatu negara dan peluang melestarikan demokrasi. Jika riset dan hasil kajian-kajian tersebut valid, akar berbagai krisis politik (demokrasi) masa datang bersumber dari krisis energi berbahan bakar fosil.
Kapitalisme fosil bakal berakhir akibat pergeseran ke kapitalisme karbon rendah (low carbon economy), energi ramah lingkungan, dan konversi energi. Maka, pilar-pilar demokrasi masa datang bakal berbasis pada mata rantai sosial- politik dari ekstraksi, produksi, distribusi, dan konsumsi energi ini. Evolusi, survival, dan konsolidasi demokrasi di Indonesia tidak luput dari pengaruh kapitalisme kolosal global ini.
Jika pilar-pilar demokrasi Indonesia semakin terintegrasi sebagai subsistem kapitalisme pasar global, apa pun bentuknya, evolusinya bergerak ke arah demokrasi liberal. Bahan bakar fosil ini sebagai kapitalisme global sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi, inovasi, dan efisiensi sehingga konsolidasi demokrasi dan stabilitas politik sejumlah negara semakin bergantung pada strategi, ekstraksi, pasokan, produksi, konsumsi, dan harga bahan bakar fosil (Homer-Dixon, 2009).
Kapitalisme fosil menggerakkan aktor-aktor dunia memperebutkan pemasok energi dunia. Kapitalisme itu sebuah sistem ekonomi yang hubungan sosialnya ditentukan oleh kepemilikan pribadi terhadap alat produksi, produksi barang (dan jasa) tanpa kontrol sosial. Pekerjaan sehari-harinya memeras keringat manusia, meraup keuntungan darinya, mengekploitasi isi alam sebanyak yang diinginkan tanpa memikirkan dampaknya, dan menumpukkan sebanyak mungkin hasil dari jerih payah manusia untuk keuntungan dan kebutuhan pribadi.
Kelimpahan produksi hasil dari kerja manusia ini pun tak diabdikan untuk kemakmuran dan kemajuan mayoritas manusia, melainkan untuk keberlangsungan akumulasi keuntungan belaka. Manusia sedang menghadapi bencana besar dari sistem masyarakat kapitalis ini. Karena semaju apa pun pengetahuan dan alat kerja manusia, tidak ada sangkut pautnya dengan keberlanjutan dan pemerataan kesejahteraan manusia.
Segelintir manusia yang bermodal besar, memiliki pabrik-pabrik dan perusahaan raksasa, memiliki kepentingan lebih hebat dalam mengeksploitasi sumber daya alam, sekadar demi akumulasi keuntungan dan perluasan modalnya.
Kenyataan picik sistem kapitalisme ini, diulas oleh Karl Polanyi (2001) yang merujuk pada kondisi Inggris pertengahan pertama abad kesembilan belas.
Menurutnya, “Sistem ini, yang mengatur kekuatan manusia (buruh)–yang menggunakan fisik, juga psikologi dan moralitas sejak lahirnya, ‘manusia’, label yang diberikannya. Perampokan yang dilindungi karena ditutupi oleh institusi budaya, mengakibatkan manusia akan binasa akibat berkembangnya permasalahan sosial. Mereka akan mati sebagai korban karena tergelincir oleh keadaan sosial yang sangat akut–masalah buruk, asusila, kejahatan, dan mati kelaparan.
Alam akan mengurangi unsur lingkungan tempat tinggal, dan pencemaran alam, kotornya sungai, ancaman terhadap keamanan (dari serangan militer), kekuatan produksi pangan dan bahan mentah dihancurkan. Niscaya, buruh, tanah dan peredaran uang menjadi unsur utama dalam ekonomi pasar. Tapi tidak ada masyarakat yang dapat tahan dengan akibat dari sistem tersebut, […] melawan kerusakan akibat pabrik setan ini.”
Apa yang ditulis Polanyi ini menunjukkan bahwa bahkan manusia (yang mayoritas) saja tidak menghiraukan kehidupannya akan dibinasakan kalau menghambat aktivitas akumulasi kekayaan pemilik modal, apalagi terhadap alam yang jadi objek eksploitasi, memungkinkan perusakan lingkungan terjadi secara massal dan cepat.
Revolusi industri abad ke-17 hingga 18 di Eropa dan kapitalisme fosil (fossil-capitalism) memiliki pola hubungan historis dan signifikan melalui eksploitasi bahan bakar fosil. Akibatnya, zona-zona itu menjadi episentrum konflik dan ketegangan skala dunia seperti Irak, Afghanistan, Asia Tengah,Kuwait, Kaspia, Kosovo, dan zona Balkan. Zona Indonesia menjadi ajang perebutan akses minyak saat Perang Dunia II. Jepang merebut akses minyak asal Indonesia untuk membiayai ongkos perang dari Jepang di zona Asia dan kapitalisme fosil (fossil-capitalism).
Imperialisme merupakan anak kandung dari globalisasi kapitalisme fosil karena akumulasi kapital hanya dapat dijamin oleh pasokan energi fosil dan akses yang konsisten ke sumber-sumber energi fosil (Altvater & Mahnkopft, 1997).
Evolusi Demokrasi
Dampaknya ialah lahirnya tata ekonomi-politik pasar dunia yang berbasis kapitalisme fosil. Kapitalisme fosil memacu Produk Dunia Bruto selama 100 tahun terakhir. Konsumsi energi naik. Artinya, ekonomi dunia naik, sementara konsumsi energi naik beberapa kali lipat dengan mayoritas konsumsi energi bahan bakar fosil. Akibatnya, tata sosial, politik, dan ekonomi setiap negara terorganisasi dalam mata rantai produksi, distribusi, dan konsumsi bahan bakar fosil.
Wajah transformasi revolusi industri adalah pembentukan wajah kapitalisme fosil. Dampaknya ialah kapasitas kinerja dalam merespons, merasionalisasi, mengorganisasi, mitigasi, dan menata kelola kendali krisis bahan bakar fosil menjadi barometer survival dan evolusi tata sosial-lingkungan suatu negara demokratis. Segala sektor aktivitas setiap negara terorganisasi melalui pasar bebas yang digerakkan oleh bahan bakar fosil.
Seluruh elemen industri seperti lahan, tenaga kerja, dan modal menjadi komoditi yang diperjualbelikan dan pola hubungan sosial-politik ditransformasi ke dalam pola-pola hubungan pasar. Pertumbuhan kapitalisme fosil tidak hanya mentransformasi tata kelola ekonomi negara-negara di dunia, tetapi juga tata kelola demokrasi dan masyarakatnya. Kapitalisme fosil menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dan ideologi liberalisme.
Demokrasi liberal yang berkembang di Amerika Serikat dan negara Eropa Barat selama ini mengagungkan kebebasan individu, rule of law, dan hak asasi manusia (HAM). Model demokrasi ini memiliki ikatan historis dengan pertumbuhan kapitalisme berbasis bahan bakar fosil Marwan Ja’far (2013). Karena tidak ada demokrasi liberal benar-benar eksis dan hidup di era ekonomi-politik pasar kapitalis berbahan bakar fosil (Macpherson, 2006).
Wajah transformasi revolusi industri adalah pembentukan wajah kapitalisme fosil (Polanyi, 2001). Dampaknya ialah kapasitas kinerja dalam merespons, merasionalisasi, mengorganisasi, mitigasi, dan menata kelola kendali krisis bahan bakar fosil menjadi barometer survival dan evolusi tata sosial-lingkungan suatu negara demokratis (Hausknost, 2008).
Jika pilar-pilar demokrasi (demokrasi Indonesia) masa mendatang bakal berbasis pada mata rantai sosial politik dari ekstraksi, produksi, distribusi, dan konsumsi energi ini maka konsolidasi demokrasi di Indonesia, meminjam, Marwan Ja’far (2013) tidak luput dari pengaruh kapitalisme kolosal global ini, maka mustahil demokrasi kita akan tumbuh sehat. Jika pilar-pilar demokrasi Indonesia semakin terintegrasi sebagai subsistem kapitalisme pasar global—apa pun bentuknya, evolusinya bergerak ke arah demokrasi liberal.
Paul K. Gellert (2011) dalam “Extractive Regimes : Toward a Better Understanding of Indonesian Development” mengenalkan situasi pemerintahan Indonesia yang disebut sebagai “extractive regime.” Rezim ekstraksi merupakan sebuah rezim pemerintahan yang ditopang ekstraksi dan ekspor beragam jenis ekstraksi sumber daya alam sebagai basis produksi dan akumulasi nilai. (Siti Maimunah, 2018).
Indonesia, pasca tahun 1965, membuka pintu masuk modal asing ke Indonesia. Modal yang mayoritas datang dari Barat itu masuk ke negeri ini melalui UU PMA 1967 dan UU PMDN 1967. Pembangunanisme (Developmentalism) mulai dijalankan dengan mengandalkan investasi modal asing dan pinjaman utang luar negeri. Sejalan dengan itu perusakan lingkungan tak luput dari sistem developmentalisme ini ( Max Lane, 2014).
Keruntuhan rezim diktator Orde Baru, Mei 1998, menyongsong reformasi dan keterbukaan ruang demokrasi (yang setengah hati). Namun, bersamaan dengan itu, kekayaan dan sumber daya alam Indonesia malah semakin masif dieksploitasi. Pemerintah meramahkan beragam aturan yang saling silang dengan kepentingan kapitalisme. Konsekuensinya, rakyat menjadi korban di tengah ketidakberdayaannya.
Pemerintahan sekarang bukannya menjadi ramah dengan lingkungan justeru semakin parah dengan begitu banyaknya tanah longsor, perampasan lahan oleh penguasa/pengusaha (sebut saja misalnya perampasan lahan sawit, demi apa yang disebut demokrasi atau pilkada, pileg, pilgub, dan pilpres.
Seiring dengan begitu besarnya biaya polotik pilkada/pileg/pilpres, perampasan-perampasan/pengerukan lahan tanah (gali tambang) oleh korporasi dan pemerintah semakin menjadi-jadi dan sulit dikontrol. Konflik berkepanjangan terus meningkat, konflik antara rakyat tertindas dan penguasa, yang bahkan sering memakan korban, dipenjarakan, dan ditembak mati di tempat.
Perampasan dan kriminalisasi petani pun semakin marak terjadi. Pada 2017/2018 saja, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sedikitnya telah terjadi 659 kejadian konflik agraria di berbagai wilayah dan provinsi di tanah air dengan luasan 520.491,87 hektar. Konflik-konflik tersebut melibatkan sedikitnya 652.738 kepala keluarga (KK). Dibanding tahun 2016, angka kejadian konflik pada tahun ini menunjukkan kenaikan yang sangat signifikan—bahkan terjadi peningkatan hingga lima puluh persen. Jika dirata-rata, hampir dua konflik agraria terjadi dalam satu hari di Indonesia sepanjang tahun (Ajun Thanjer, 2017).
Eksploitasi dan kerusakan lingkungan telah sampai pada titik kritis sehingga menarik perhatian berbagai kalangan. Akan tetapi, respons yang kemudian bergema lebih banyak menyoroti masalah lingkungan daripada masalah kemanusiaan.
Dengan demikian, tidak ada pilihan lain meminjam, Ajun Thanjer, perjuangan terhadap ekologi sudah seharusnya merupakan perjuangan melawan sistem ekonomi kapitalisme dan reorganisasi radikal terhadap cara produksi kapitalisme. Itulah satu-satunya jalan penyelamatan lingkungan yang berkesinambungan sekaligus penyelamatan kemanusiaan. Memilih jalan tengah melalui konsep good will dengan maksud terjadi keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan biaya lingkungan yang masih bisa ditanggung adalah omong kosong. Kerusakan alam merupakan konsekuensi mutlak atas sistem modal yang tak memikirkan kemanusiaan dan kelestarian alam.
Dibutuhkan perluasan kesadaran bahwa demokrasi fosil (kapitalisme alam) penyebab kerusakan lingkungan, yang membuat jutaan manusia mati sia-sia di atas reruntuhan tanah longsor, timbunan kayu dari banjir bandang, kelaparan, penyakit, badai akibat perubahan iklim, dan lainnya. Juga dibutuhkan perluasan pemahaman bahwa kesejahteraan tak mungkin didapat untuk jangka waktu yang lama jika lingkungan (demokrasi fosil) tak segera dihentikan. Sebagai solusinya kita bisa menggunakan demokrasi deliberatif sebagai alternatif solusi terhadap demokrasi fosil.
Ben Senang Galus, penulis buku, tinggal di Yogyakarta.
Komentar