oleh

Wanita Dalam Cermin

Oleh Venansia Kurniati Mangkut, S.Pd

Wanita dalam Cermin
Bukan karena kacanya retak
Bukan karena waktu membuatnya renta
Tetapi karena hati yang lama telah patah

Setiap malam tak bisa dilewatkan tanpa berkaca . Seolah akan ada kepahitan bila itu tidak dilakukan .

Berbalut daster tua , tubuh ringkih itu sesekali terlihat bergetar. Dia terlihat begitu terguncang.

Bila sudah begitu , aku memilih berdiri , menepi dalam kesendirian di bilik nan sepi”.

Sembari berbaring , aku melihat jauh ke atas sana , kepada langit tempat sang Tuan berada , barangkali bisa dilemparnya jawab atas pertanyaan yang sesak di dada.

Wanita itu masih di tempat duduknya , masih saja terus berkaca . Seketika terdengar seperti sedang berbicara , sedetik kemudian terdengar seperti dia bernyanyi.

Sebuah ratapan yang sungguh merobek hati.”

Aku mendengar ratapan itu tak hanya kali ini. Meski tidak setiap malam juga .  Namun entah mengapa malam ini membuat air mata harus jatuh berserakan di atas tempat tidurku.

Malam menamatkan tugasnya. Pagi datang mengganti. Semua kembali seperti kemarin dan kemarinnya lagi. Wanita itu sibuk menanak nasi , sesekali meneguk air dari gelas kaca . Aku menyiapkan segala sesuatu untuk kembali menantang matahari juga kerasnya tanah kami.

Menanam palawija juga menyabit , kadang juga berkerja di kebun tetangga untuk menambah seperak dua perak agar bisa membeli seikat ikan kering di kampung sebelah.

Disendoknya nasi ke dalam piringku. Banyak dan beberapa bulir nampak jatuh keluar.

“Aku tersenyum”

Wanita tua ini sungguh mengerti, energi yang kuperlukan hari ini tidak sedikit.

Setelah menghabiskan isi piringku , aku membawa diriku bergegas meninggalkan rumah dan menuruni bukit di sebelah timur kampungku. Aku pergi ke arah matahari terbenam untuk menerbitkan mimpiku, meski hidup selalu cukup untuk sehari.

Aliran air di sungai yang membentang membela kebun kami dan kebun baba Ah Lok begitu jernih dan segar. Sesekali aku turun meraup untuk membasahi rasa dahagaku. Matahari kini mulai naik , tinggi di atas kepalaku.

Sejenak aku mengaso sembari menikmati makanan yang dibungkus dalam kain batik oleh wanita tua tadi. Keringat jatuh dari atas kepalaku mengalir di pipi kiri dan kananku. Perpaduan antara panas matahari juga pedasnya cabai rawit yang kugigit sedikit demi sedikit.

“Hidup ini begitu nikmat , bila aturannya sederhana”

Senja mulai merenta, di atas bukit , di rumah baba Ah Lok lampu di teras sudah menyala. Menambah megah sekaligus perih bagi yang melihatnya. Perih karena rumah itu sulit didekati. Apalagi dimasuki orang .

Aku mengikat berapa tangkai daun singkong juga beberapa buah ubinya kumasukan ke dalam keranjang dari rotan yang sudah ada sejak aku kecil. Aku memakai bajuku yang tadi kulepaskan di atas tumpukan rumput yang kemarin kusiangi. Aku pulang kembali , bersama pulangnya mentari ke peraduannya. Selalu seperti itulah hidupku.

Seperti malam-malam sebelumnya, malam ini tangan wanita itu kembali memegang cermin tua itu.
Aku dan dia duduk berhadap-hadapan. Namun kami tak saling bicara. Angin bertiup cukup kencang , membuatku mengeratkan tubuh dengan sarung yang kupakai.

“Terdengar desah napasnya yang berat”

Tangannya lalu berlahan meletakkan cermin itu di atas meja. Sebuah tatapan seolah meminta mendekat , kukabulkan. Kini aku sedikit membungkuk di belakangnya yang sedang duduk di kursi. Wanita itu kembali meraih cermin yang tadi diletakkannya di atas meja.

Cermin itu memantulkan dua wajah yang nyaris tiada beda. Wajah penuh garis-garis duka. Dan untuk kali pertama aku melihat ada sendu yang pilu di matanya juga di mataku , meski sedikit.

Dengan sukarela digelarnya luka itu , hingga aku tahu yang sebenar-benarnya. Dia terus bercermin hanya untuk tahu ,

seburuk itukah dia untuk dapat dikhianati oleh cinta yang katanya tanpa syarat itu?”

Lukanya tak pernah mengering , bahkan setelah sekian waktu kini.

Aku sekarang mengerti mengapa ada ratapan di setiap malamnya. Karena cinta yang konon katanya buta , ternyata melihat rupa. Dia ditinggalkan hanya saja karena tak menawan.

Aku memeluknya dari belakang , merasakan dia membagi sesaknya yang berat. Aku menyelam masuk untuk sekedar mengambil sedkit dari luka itu agar sembuh dalam waktu. Kini aku memahami bila benar pengkhianatan itu terasa begitu sakit karena ia tidak dilakukan oleh seorang lawan.

Sisa seperempat malam, dia mendengkur dalam pelukan semesta. Aku bangun berdiri . Mengambil cermin itu . Ku bawa pergi berlari ke tanah yang lapang. Kupecahkan di sana. Agar wanita ku, wanita tua itu tak selalu menegok lukanya.

Kubiarkan agar waktu menunjukkan kuasanya. Bila ia adalah obat. Mengikis luka hingga menghilangkannya tanpa jejak apapun lagi.

Esoknya , dia tak lagi bercermin. Kini ku lihat di bawa arca Bunda , dia mendaraskan doa. Entah untuk siapa. Entah juga untuk apa. Hanya dia dan Bunda yang tahu.

Semoga salah satu isi doanya adalah pengampunan tanpa batas untuk cinta yang menitipkan luka di hatinya begitu dalam, kemarin.

Ya. Kemarin”.

Penulis adalah Guru pada Sekolah Dasar Katolik (SDK) Ruteng V.

[Admin/SN)

Komentar