Manggarai, SwaraNTT.net – Energi panas bumi (geothermal) bukan hanya tentang teknologi dan pembangkit listrik, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat bisa hidup berdampingan dan saling menguntungkan dengan sumber energi ini. Sebelum memahami manfaatnya secara luas, penting untuk melihat bagaimana energi panas bumi telah dimanfaatkan di berbagai belahan dunia dengan standar keamanan yang tinggi.
Secara global, energi geothermal telah digunakan selama lebih dari satu abad, dengan contoh utama seperti PLTP Larderello di Italia yang beroperasi sejak 1911. Islandia (PLTP Svartsengi 1976), New Zealand (PLTP Wairakei 1958), dan Amerika Serikat (PLTP Geyser 1960) juga telah mengoptimalkan pemanfaatan panas bumi untuk pembangkit listrik, pertanian, hingga pariwisata.
Beberapa negara lainnya dengan potensi panas bumi yang luar biasa mencakup Indonesia, Papua Nugini, Filipina, Kenya, Jepang, Meksiko, Turki, Ethiopia, Chili, El Salvador, dan Costa Rica. Kekayaan sumber daya ini adalah hadiah berharga dari alam, tidak dimiliki oleh banyak negara lain di dunia.
Dari sisi keamanan, pengelolaan panas bumi dilakukan dengan sistem pemantauan yang ketat guna memastikan tidak ada dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat. Teknologi modern memungkinkan sistem injeksi ulang fluida ke dalam reservoir, menjaga keseimbangan tekanan dan mengurangi risiko geologis.
Di Indonesia, dengan potensi panas bumi sebesar 29.038 MW atau 40% dari cadangan dunia, pemanfaatannya terus berkembang. Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, kapasitas terpasang PLTP di Indonesia hingga akhir tahun 2024 mencapai 2,6 gigawatt (GW). Berbagai PLTP telah terbukti dapat hidup berdampingan dengan masyarakat dan bahkan memberikan dampak ekonomi serta infrastruktur yang positif. Seiring berjalannya waktu, berbagai komunitas yang tinggal di sekitar PLTP membuktikan bahwa pemanfaatan energi panas bumi dapat menjadi katalisator bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan mereka.
Cerita Masyarakat Sekitar PLTP Lahendong yang Hidup Berdampingan dengan PLTP

Sejak beroperasi pada 2007, PLTP Lahendong di Tomohon, Sulawesi Utara, telah membawa dampak nyata bagi masyarakat. Salah satu bentuk pemanfaatan energi ini adalah penggunaan sisa panas untuk produksi gula aren di pabrik Masarang.
Pak Martin, pekerja di bagian produksi gula aren TMS (The Most Sustainable) yang beroperasi bersebelahan dengan PLTP Lahendong, menjelaskan bahwa metode baru ini lebih hemat energi dan ramah lingkungan. “Proses pembuatan air nira lebih hemat kayu bakar, lebih higienis karena dilakukan dalam ruangan, dan memiliki standar produksi yang lebih baik,” ungkapnya.
Hal ini juga dirasakan oleh warga Desa Tondango, seperti Dian Tapo, yang melihat adanya peningkatan ekonomi di desanya. “Banyak warga yang kini bekerja di industri ini, membuka usaha kos-kosan, warung, dan berbagai bisnis lainnya,” tambahnya.
Selain itu, warga setempat juga mengembangkan industri rumahan berbasis sumber daya lokal yang sebelumnya sulit berkembang karena kurangnya akses listrik. “Dengan listrik yang stabil, kita bisa mengolah hasil pertanian lebih optimal, produk kita juga lebih mudah dipasarkan,” kata seorang pengusaha kecil di Tomohon.