oleh

Merdeka Secara Ekonomi    

Oleh:  Aji Setiawan (pemerhati masalah sosial, ekonomi dan politik tinggal di Purbalingga Jawa Tengah)     

                      

Sudahkah Indonesia merdeka secara ekonomi? Belum. Sebuah negara tidak bisa dikatakan merdeka, kata Bung Karno, kalau kebijakan ekonominya membiarkan kekayaan dari hasil-hasil buminya mengalir ke peti-peti kekayaan perusahaan-perusahaan raksasa kapitalis dunia.

Pada kenyataannya, belum ada pergeseran secara radikal dari ekonomi kolonial menjadi ekonomi merdeka. Pertama, kapital asing masih mendominasi, bahkan menguasai, hampir keseluruhan ekonomi nasional.

Sektor energi, yang perannya sangat vital bagi ekonomi nasional, telah jatuh ke pangkuan kapital asing: sekitar 85-90% ladang minyak kita dikuasai perusahaan asing, 90% produksi gas kita dikuasai oleh 6 perusahaan asing, dan sekitar 70% produksi batubara kita dikuasai asing.

Tak hanya itu, modal asing juga menguasai sektor-sektor strategis yang lain, seperti  perkebunan (50%), perbankan nasional (50,66%), pasar modal (60-70%), jaringan telekomunikasi (70%) dan lain-lain. Sekarang ini, pemerintah sedang membuka pintu liberalisasi di sektor pendidikan, kesehatan, properti, dan lain-lain.

Baca Juga: Ketika Advokasi Menjadi Provokasi

Investasi asing juga sudah menancapkan kekuasaannya dalam penguasaan tanah di Indonesia. Catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan, lebih dari 35 persen daratan Indonesia dikuasai oleh 1.194 pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan, dan 257 kontrak pertambangan batubara. Sementara itu, Kementerian Kehutanan juga sudah menyerahkan 42 juta hektar hutan Indonesia kepada korporasi (25 juta hektar IUPHHK Hutan Alam, 9,3 juta hektar untuk HTI, dan 15 juta hektar untuk HGU). Ketiga, pasar di dalam negeri makin dikuasai asing. Barang-barang impor mulai menguasai pasar kita: 92% produk teknologi yang kita pakai buatan asing, 80% pasar farmasi dikuasai asing, 80% pasar tekstil dikuasai produk asing. Untuk produksi sepatu, misalnya, sepatu merk asing kuasai lebih 50% pangsa pasar. Kejadian lebih ironis terjadi di pasar buah dan sayur Indonesia: Malaysia kuasai 43 persen, Tiongkok kuasai 28 persen dan India 6 persen.

Produk benih dan agrokimia dikuasai oleh Monsanto, Syngenta, Dupont, Bayer, dan lain-lain. Proses distribusi perdagangan dan pengolahan bahan mentah dikuasai oleh ADM, Louis Dreyfus, Cargill, Bunge, dan lain-lain. Pengelolaan pangan dan minuman dikuasai oleh  Nestle, Kraft Food, Unilever, dan Pepsi Co. Sedangkan di sektor ritel muncul Walmart, Carrefour, Metro, dan Tesco.

Tak hanya itu, sekalipun kita punya label negeri agraris, tetapi hampir semua kebutuhan pangan kita diimpor: beras, kedelai, kentang, singkong, biji gandum, tepung terigu, jagung, dan lain-lain. Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) mengklaim, bahwa 80% kebutuhan pangan kita didapatkan melalui impor. Kita juga masih mengimpor 25% kebutuhan daging kita dari luar dan mengimpor 74% susu dari luar. Ada dua masalah utama yang dihadapi para Kedua, politik perekonomian Indonesia, yakni pasal 33 UUD 1945, telah takluk dihadapan dikte lembaga keuangan dan perdagangan internasional, seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO.

Hampir semua kebijakan ekonomi Indonesia didikte oleh lembaga-lembaga asing tersebut.  Ada puluhan UU di Indonesia, termasuk UU migas dan UU sektor keuangan, yang merupakan pesanan asing melalui Letter of Intent (LOI).