oleh

Mencermati Pengutan Politik Identitas Jelang Pilkada 2020

Oleh: Aji Setiawan (Mantan Ketua PWI-Reformasi Korda Dista Yogyakarta)

 

POLITIK identitas berpusat pada politisasi identitas bersama atau perasaan ‘kekitaan’ yang menjadi basis utama perekat kolektivitas kelompok. Identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim, yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa ‘sama’, baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya.

Puritanisme atau ajaran kemurnian atau ortodoksi juga berandil besar dalam memproduksi dan mendistribusikan ide kebaikan terhadap anggota secara satu sisi, sambil di sisi lain menutup nalar perlawanan atau kritis anggota kelompok identitas tertentu. Politik identitas, menurut Abdillah (2002) merupakan politik yang fokus utama kajian dan permasalahannya menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi fisik tubuh, politik etnisitas atau primordialisme, dan pertentangan agama, kepercayaan, atau bahasa.

Politik identitas hadir sebagai narasi resisten kelompok terpinggirkan akibat kegagalan narasi arus utama mengakomodir kepentingan minoritas; secara positif, politik identitas menghadirkan wahana mediasi penyuaraan aspirasi bagi yang tertindas. Fitur dikotomi oposisional menjadi fondasi utama yang membedakan perasaan kolektivitas ke-kita-an terhadap yang lain. Tetapi kenyataannya, pada tataran individual di era modernisasi yang serba mekanik, muncul kegagapan untuk memahami struktur masyakarat yang plural, maka intoleransi semakin meningkat. Pendeknya, terjadi ketidaksesuaian social imagination atau imajinasi sosial tentang kehidupan sehari-hari manusia modern dan interaksinya dengan masyarakat umum.

Baca Juga: Tantangan Dunia Pers Pasca Pandemi Covid-19

Munculnya penguatan politik identitas karena, pertama, adanya kesenjangan ekonomi. Suatu daerah dengan angka kesenjangan ekonomi tinggi cenderung membuat politik identitas berkembang contohnya di Jakarta.Catatannya Bawaslu, daerah yang rawan adalah daerah yang punya kesenjangan ekonomi.

Faktor kedua, rendahnya literasi baik politik dan komunikasi. Soal literasi politik, banyak partai politik yang tidak bisa mengelola konflik dengan baik. Sementara kecerdasan masyarakat cenderung lemah menyikapi masalah tersebut.